Senin, 03 Februari 2014

Demi Sebentuk Kedewasaan



Demi Sebentuk Kedewasaan
             Pernahkah engkau merasakan memiliki ikatan persahabatan yang begitu dalam, dimana engkau merasa sahabatmu adalah salah satu bagian terpenting dalam hidupmu? Sahabat yang menjadi urat nadi dalam hari-harimu, mengalirkan kebahagiaan ke seluruh syaraf-syaraf yang membuat bibirmu selalu merekahkan senyum kala bertemu dengannya? Persahabatan yang juga menorehkan perih dan kau mesti menempuh perjalanan mengalahkan waktu yang amat melelahkan batin. Ya! Aku pernah merasakannya. Persahabatan yang mendalam, sahabat yang menjadi belahan jiwa dalam keseharian namun juga menorehkan konflik.

             Dialah Uma, sahabat akrab pertama yang kumiliki kala aku menginjakkan kaki di pelataran kampus. Uma gadis tomboy tetapi lembut dan selalu ceria. Akrab dengan celana komprang dan sepatu ketsnya. Bersama Uma aku banyak menghabiskan lebih dari separuh waktuku. Berangkat bersama-sama ke kampus, duduk bersebelahan di kelas, pulang dan jalan-jalan bersama, teman yang asyik berbagi tawa dan juga tangis. Dia selalu menjadi dirinya, apa adanya. Satu prinsipnya yang juga amat kusukai, ia tak suka pacaran.
             Persahabatan kami berjalan begitu indah, sampai suatu ketika Uma dengan riang bercerita tentang seorang teman prianya. Pria itu kakak dari teman kosnya Uma. Seiring intensitas pria itu mengunjungi adiknya (teman kos Uma), maka semakin sering pula Uma bertemu dengannya. Intensitas pertemuan itu membawa keakraban yang berbeda bagi Uma, hingga ia dan pria itu sepakat memulai suatu hubungan pacaran. Padahal, kala itu pria itu masih berpacaran dengan gadis lain dan Uma tau itu. Miris bagiku karena mereka tak hanya mengabaikan arti sebuah hubungan tetapi juga menyakiti wanita yang telah terlebih dahulu menjadi kekasih pria itu. Diam-diam aku memprotes dalam hati, sebuah protes yang tak pernah aku suarakan demi melihat binar di mata Uma. Bukankah Uma pernah melihatku terkapar dalam luka dan duka akibat patah hati yang amat akut? Ah, kegelisahan akhirnya membuatku bicara kepada Uma, tapi Uma hanya berkata, “Jangan khawatir fren....”
             Aku benci sikap Uma. Aku teramat benci kepada orang yang masuk sebagai orang ketiga dalam hubungan orang lain, sebenci aku pada wanita yang membuat seseorang di masa laluku berpaling dariku dengan begitu menyakitkan. Aku menjauhkan diri dari Uma, persahabatan kami berubah menjadi dingin. Aku berangkat sendiri ke kampus. Tak ada tegur sapa meski Uma meminta penjelasanku. Aku berusaha keras mengeliminasi Uma dari ingatanku. Sulit, amat sulit karena sesungguhnya rasa kesal itu muncul karena aku menyayanginya sebagai saudara. Setiap hari juga bertemu di ruang kelas. Nampaknya Uma mengerti, dia pun berhenti mengusikku. Teman-teman lain sampai terheran-heran melihat perubahan kami berdua.
             Kau tau apa yang begitu menyiksaku? Kekhawatiranku terbukti. Uma terluka olehnya.  Kudengar pria itu membuatnya menderita. Hari ke hari kulihat Uma tak lagi bersemangat seperti dulu. Uma lebih sering murung, bahkan bobot tubuhnya kulihat menyusut. Tak ada lagi jari-jari gemuknya yang sering menjadi bahan ledekanku. Ia patah hati pada cinta pertamanya. Ah, tapi aku terlanjur “beku” padanya. Aku terluka, semakin terluka karena keras kepalanya yang membawa ia pada patah hati yang amat sangat akut.
             Waktu terus bergulir, tak terasa kebekuan kami telah berjalan selama setahun. Waktu yang terbuang dengan alasan yang sungguh egois. Aku terpuruk dalam keegoisan dan terjebak pada kegagalan mendidik emosiku sendiri. Aku picik.Aku gagal memporsikan diri sebagai sahabat sejati. Aku merasa hampa, ada bagian dari ruang hatiku yang kosong. Padahal, agama kami mengajarkan tak boleh dua orang itu tak bertegur sapa melebihi tiga hari. Tak boleh memutuskan tali silaturahim. Lalu lihatlah apa yang aku lakukan? Aku resah, mungkinkah semua amalanku tertolak dan sia-sia karena mendiamkan sesama? Oh, aku luruh dalam sujud malam yang panjang kala itu, menggumamkan doa-doa dan berharap campur tangan-Nya untuk mencairkan dinding es yang terlanjur kubangun.
             Ah, perenungan panjang mengurai sedikit demi sedikit kekusutan pikiranku. Aku mesti mengakhiri sikap kekank-kanakanku. Ini akan menjadi “perjalanan mengalahkan waktu” yang berat dalam kehidupan remajaku.  Maka sore itu usai kutunaikan shalat asar aku melangkah mantap ke kos Uma sembari menenteng sekotak martabak favoritnya.  Aku mesti bangkit menata diri untuk menjadi lebih baik. Aku masih punya kesempatan menjadi sahabat sejati untuk seorang Uma. Aku tak boleh terpuruk dan terjebak pada sifat dan sikap ala anak SD jika aku ingin menjadi seorang dewasa dengan pikiran dewasa pula. Aku bisa. Maka kuketuk pintu kos Uma sambil mengucapkan salam. Tak butuh satu menit untukku menunggu pintu terbuka. Uma berdiri di ambang pintu, mata kami berkaca-kaca, tak ada ucap, tapi peluk saling merangkul. Aku tau, aku dan Uma mesti belajar dari pengalaman yang mahal ini. Pengalaman yang membuatku bangkit menjadi orang yang lebih lapang dan dewasa. Aku pasti bisa. “(#GA_PMW)”

Link Original Soundtrack PMW https://soundcloud.com/jalukancana/sets/ost-perjalan-mengalahkan-waktu atau detailnya di link berikut (ada lima lagu) :
https://soundcloud.com/jalukancana/crystal?in=jalukancana/sets/ost-perjalan-mengalahkan-waktu 
https://soundcloud.com/jalukancana/aku-pinjam-namamu-live?in=jalukancana/sets/ost-perjalan-mengalahkan-waktu
https://soundcloud.com/jalukancana/pulang?in=jalukancana/sets/ost-perjalan-mengalahkan-waktu










0 komentar:

Posting Komentar