Rabu, 12 Maret 2014

Resensi Novel Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman




Judul Buku       : Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman
Penulis              : Afifah Afra
Penerbit            : Penerbit Indiva
Tahun Terbit     : Januari 2014
ISBN               :978-602-1614-11-2
Tebal Buku       : 364 hlm
Ukuran             : 19 cm
Harga               : Rp55.000,-

Mengenang Tragedi Mei 1998
dan Lintas Peristiwa Sejarah di Indonesia

          “Dia korban pemerkosaan,” bisikan seorang lelaki berjas putih itu menyakiti hatiku.
          Korban pemerkosaan. Aku mengerang. Meradang. Seakan ingin memapas sosok-sosok beringas yang semalam menghempaskan aku kepada jurang kenistaan.
          “Kasihan dia,” ujar lelaki itu lagi, samar-samar kutangkap, meski gumpalan salju itu menghalangi seluruh organ tubuhku untuk bekerja normal seperti sediakala.
          Kenapa?”tanya seorang wanita, juga berpakaian serba putih.
          “Rumahnya dibakar. Tokonya dijarah. Ayahnya stres, masuk rumah sakit jiwa. Dan ibunya bunuh diri, tak kuat menahan kesedihan.”
          “Aku tak mengerti, kenapa para manusia menjadi seganas itu. mereka telah kehilangan separuh jiwanya.” (dialog hlm.62)

          Kerusuhan massal yang terjadi di ibukota negara dan sekitarnya pada 12-22 Mei 1998 merupakan tragedi bangsa paling memilukan dalam rangkaian peristiwa yang pernah terjadi  di tanah air. Tragedi tersebut terjadi menyusul demo dan tertembaknya empat mahasiswa Trisakti, diakhiri dengan lengsernya Presiden Soeharto yang sekaligus mengahiri era Orde Baru yang telah lama berkuasa. Dalam dialog Tragedi Kemanusiaan Mei 1998 dengan topik dari Keterasingan Menjadi Karib di Union City, San Francisco Bay Area pada tanggal 16 May 2010 meyatakan bahwa tragedi itu memakan 1.339 jiwa warga Indonesia, termasuk hampir seratus perempuan Indonesia etnis Tionghoa yang mengalami kekerasan seksual dan diperkosa, lebih dari 5.723 bangunan, 1948 kendaraan dan 516 fasilitas umum dibakar di beberapa kota besar di Indonesia. Sedangkan berdasarkan hasil investigasi AsiaWeek, dinyatakan bahwa setidaknya 1.188 orang tewas, sekitar 468 wanita diperkosa, 40 mal dan 2.470 toko ludes dimakan api, serta tidak kurang dari 1.119 mobil dibakar atau dirusak. Penjarahan, pemusnahan, pemberangusan dan pemerkosaan terutama ditujukan kepada para warga beretnis Tionghoa yang bermukim di ibukota dan sekitarnya.
          Sayangnya, hingga kini tidak diketahui pasti siapa dalang di balik kerusuhan yang semestinya bertanggungjawab atas tragedi yang mengoyak citra bangsa tersebut. Peristiwa yang disinyalir didalangi oleh tokoh-tokoh besar dalam jajaran pemerintahan kala itu guna menimbulkan konflik bangsa untuk merebut kekuasaan. Peristiwa itu boleh saja telah berlalu bertahun-tahun lamanya, namun bagaimanapun akan selalu menyisakan luka dan duka mendalam di hati para korban, terutama bagi para wanita yang menjadi korban kekerasan seksual dalam peristiwa tersebut.
          Berdasarkan fakta tersebut, penulis menuangkan kisah yang mengharukan dalam sebuah novel fiksi, mengusung tema kehidupan seorang gadis belia sekaligus mahasiswi cerdas di salah satu universitas terkemuka di Jakarta, seorang gadis keturunan Tionghoa, yang turut menjadi korban keganasan para pelaku kerusuhan. Suryani Cempaka Ongkokusuma atau yang bernama asli Ong Mei Hwa harus menjalani kehidupan yang berbeda pasca kerusuhan tersebut bahkan kehilangan separuh kewarasannya. Ayahnya mesti dirawat di rumah sakit jiwa, mamanya tewas bunuh diri, dan kedua kakak laki-lakinya hilang entah kemana.
          Dalam keterpurukan dan kesuraman hidup, takdir mempertemukan Mei Hwa dengan Sekar Ayu, sang perempuan pelintas zaman, manusia separuh kayu, yang telah merasakan asam garam kehidupan bersama silih bergantinya penguasa negeri, mulai dari Hindia Belanda, Jepang, hingga peristiwa G30S PKI. Berbagai persamaan latar belakang dan kisah hidup membuat Mei Hwa dan Sekar Ayu menjadi dua sahabat akrab lintas usia. Keduanya menjalani persahabatan yang mengajarkan arti ketulusan, pengorbanan, dan juga cinta.
*****
          Sebuah novel yang sangat menarik, disajikan dengan diksi yang indah dan sarat konflik, sekaligus menjadi pengingat bahwa di Indonesia pernah terjadi sebuah peristiwa besar yang menjadi tragedi paling memilukan dalam sejarah tanah air, juga dalam sejarah dunia. Sebuah tragedi yang mengoyak kehormatan bangsa.
            Penulis novel ini, Afifah Afra, merupakan seorang penulis yang telah melahirkan sekian banyak novel bersetting ideologis dan sejarah. Begitu pula dengan novel ini, sangat sarat dengan informasi akan berbagai peristiwa yang menjadi bagian penting dari sejarah tanah air.
            Tema yang diusung dalam novel ini menjadi nilai plus tersendiri di tengah-tengah maraknya novel yang melulu menyajikan kisah cinta. Dengan diksi dan tutur yang memikat khas Afifah Afra, dengan sendirinya novel ini mampu menyedot perhatian pembaca untuk merunut lembar demi lembar kisah yang disajikan. Sudut pandang yang digunakan dalam cerita pun unik karena menghadirkan dua tokoh perempuan berbeda generasi namun memiliki begitu banyak kesamaan luka serta keterkaitan dalam perjalanan kehidupan yang telah dilalui. Tokoh Mei Hwa bercerita menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu “aku,” sedangkan tokoh Sekar Ayu diceritakan menggunakan sudut pandang orang ketiga, yaitu “dia.” Masing-masing bercerita tentang peristiwa penting yang menjadi setting cerita kemudian dipertemukan dalam masa kini di tengah-tengah kesulitan dan kemuraman hidup yang justru membawa pada sebuah persahabatan yang unik.
            Sayangnya, penulis tidak terlalu mengeksplor tentang peristiwa Mei 1998. Seandainya penulis menyajikan tragedi tersebut dengan lebih detail, saya yakin ceritanya akan menjadi lebih “greget” dan tajam. Apalagi peristiwa Mei 1998 merupakan peristiwa atau tragedi yang amat keji dan biadab, memilukan sekaligus memalukan dalam sejarah bangsa sehingga melalui novel ini pembaca bisa diingatkan, disadarkan, atau juga menyadari bahwa peristiwa tersebut memang benar-benar pernah terjadi dalam sebuah gambaran utuh yang jauh lebih tragis. Mungkin Mbak Afifah memang ingin lebih memfokuskan cerita pada Mei Hwa pasca peristiwa tersebut.
            Peristiwa Mei 1998 yang diangkat dalam novel ini juga pernah diangkat dalam sebuah novel atau cerita fiksi Sekuntum Nozomi 3-nya Marga T. Dalam novel tersebut, Marga T. membahas lebih rinci gambaran peristiwa keji ini. Membangkitkan kegeraman tersendiri bahwa peristiwa keji itu benar-benar terjadi dan dirasakan sangat tidak adil terutama bagi mereka yang beretnis Tionghoa meski telah lama menetap di Indonesia.
            Novel Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman ini memiliki kesamaan dengan novel-novel ideologis karya Afifah Afra yang sebelumnya. Persamaannya antara lain terletak pada peristiwa sejarah yang menjadi bagian dari setting dan alur cerita, misalnya pada Tetralogi De Winst (telah terbit 3 buku), juga Trilogi Bulan Mati di Javasche Orange. Namun, tentu saja cerita dan pesan yang disampaikan berbeda dengan novel-novel tersebut.
            Mengingat bagusnya muatan nilai yang disampaiakn dalam novel ini, juga karena beragam nila plus yang dimiliki, juga dengan nama penulisnya, maka novel ini menjadi sebuah novel yang sangat layak untuk dimiliki guna menambah khasanah pengetahuan. Semoga pembaca dapat memetik hikmah dan nilainya. Juga berharap semoga tragedi Mei 1998 tidak akan pernah terulang lagi dalam sejarah bangsa.
Sekian resensi saya. Selamat membaca ^_^








2 komentar:

AFIFAH AFRA mengatakan...

Terimakasih, Eyi... coba lebih dirapikan lagi, diedit bahasanya, timbangannya lebih kritis lagi lalu dikirimkan ke koran. Bagus kok, resensinya...

Menarik juga ya, menulis yg benar2 fokus di tragedi Mei 98. InsyaAllah buat next novel deh...

Unknown mengatakan...

Oke Mbak, syukron ^_^

Posting Komentar