Ahad, 09 Rabi’ul
Awal 1435 H
Bismillahirramanirrahim...
Assalamu’alaikum
Wr.Wb.
Teriring tasbih, tahmid, serta
takbir kepada Allah SWT, Rabb Semesta Alam. Dia-lah satu-satunya Sang Maha
Perkasa, Maha Pemurah, yang hingga detik ini masih memberikan udara yang dapat
kita hirup sebebas-bebasnya. Hanya Dia yang Maha Pengasih, yang mempertautkan
hati hamba-hamba-Nya dalam cinta dan kasih sayang. Hanya Allah jua yang
mempertautkan hatimu dan hatiku...
Shalawat dan salam kita curahkan
kepada Baginda Rasulullah SAW, Murobbi
pertama umat manusia, insan paling tangguh dan paling teguh pengabdiannya
kepada Allah. Insan terbaik sepanjang masa yang patut kita jadikan teladan
dalam berlaku juga bertutur, juga dalam urusan dakwah dan rumah tangga.
Shalawat pula kita lafaskan untuk Ummahatul Muslimin, wanita-wanita terbaik
sepanjang zaman, wanita-wanita terhebat yang menyokong terwujudnya dakwah dan
peradaban Islam. Juga shalawat dan doa kepada para Sahabat dan Sahabiyah, para
imam dan ulama terdahulu, dan orang-orang yang senantiasa berjuang menegakkan
dakwah di tengah gempuran fitnah dan kedzhaliman.
Suamiku sayang, Suamiku tercinta...
Kutuliskan surat cinta ini di
sepertiga malam yang diwarnai hujan dan sesekali diselingi gelegar petir, dalam
gulitanya ruang peraduan tanpa lilin karena tiba-tiba listrik padam begitu
egois, bersama rinduku yang bergetar begitu hebatnya kepadamu. Rindu yang
selalu menemukan muaranya kala engkau pulang, dan selalu bergetar begitu
dahsyat kala tak kudapati engkau di sisiku di hampir tiap malam-malam
terakhirku, juga malam ini. Malam ini, rindu itu begitu menyayat gaungnya,
menggema di lembah hati yang kehilangan separuh isinya.
Suamiku, qowwamku yang kucintai....
Ingatkah engkau pada hari dimana
perasaan haru berbaur dengan bahagia yang meletup-letup di hati kita? Hari
dimana kulihat air mata haru menitik di mata tua ibuku, dan suara bergetar
bapak yang terlalu pelan hingga engkau mesti mengulangi akad sampai ketiga
kalinya. Hari yang indah, dimana engkau dan aku mulai merenda mimpi dan
harapan-harapan kita. Maka sejak saat itu, kau lah orang pertama dan terakhir
yang kulihat saat aku membuka dan menutup mata pagi dan petang. Engkaulah
lelakiku, kini dan nanti hingga detak terakhir dari jantungku, Insya Allah.
Suamiku, alangkah bahagianya aku
memilikimu di sisiku. Semangat juangmu begitu tinggi dan kulihat engkau begitu
bahagia dengannya. Aku tau, di luar sana engkau tengah berjuang. Ingatkah kau,
hari itu aku bercerita aku mewakafkanmu kepada Allah dan ternyata kau pun
pulang dengan semangat empat lima sambil bercerita bahwa engkau mewakafkan
dirimu kepa-Nya. Keterkaitan batin yang indah ya? Maka sejak hari itu, kutau kau
pun tak lagi menjadi milikku, tapi milik dakwah, selalu. Kau menjadi milik tim
pemenangan, berjuang sejak pagi hingga larut bahkan terlebih sering tak pulang
hingga esoknya lagi. Selalu ada bahagia membuncah kala satu jam saja aku bisa
menatap wajah lelah namun sarat bekas perjuanganmu. Kadang aku begitu sok
romantis mengirimkanmu berpuluh-puluh sms rindu kala kau di luar meki kau tak
membalas, juga mengirimkan pesan di facebook-mu kala kulihat tanda hijau di
layar percakapan. Aku hidup dalam dunia rindu yang mengharu biru, dalam duniaku
yang sederhana bersama buku-buku yang senantiasa membuatku terjaga dalam
pelarian sepi yang menggigit jiwa. Satu yang kutau, aku selalu menantimu pulang
ke petak serba guna milik kita.
Suamiku sayang, oh alangkah kagetnya
aku karena gelegar petir barusan. Kau tau, aku selalu ciut mendengar petir. Aku
tak berani memejamkan mata, haha, layaknya anak kecil saja. Maka saat ini
kuketikkan kata-kata ini disertai gigil tubuh dan pandang yang mengabur. Oh,
mengapa mendadak aku merindukan rumah ya? Aku merindukan saat-saat hujan, air
menetes dari celah-celah genteng rumah kami yang bocor, bapak akan memanjat ke
atap dan memperbaiki letak genteng, lalu ibu menggorengkan sisa nasi yang telah
kami keringkan. Maka aku bersama adik-adik dan ponakan akan segera menanti
menyantapnya. Kadang mereka memintaku mendongeng, ah aku hampir selalu
menceritakan dongeng yang sama sambil tertawa-tawa. Hangat dan indah. Mengapa
ya aku begitu merindukan mereka?
Suamiku sayang, bagaiman hasil
silaturahim timmu malam ini dengan para tokoh? Pesta demokrasi tinggal dua
bulan lagi ya. Tentunya kau mesti bekerja keras. SEMANGAT !!! Maafkan aku yang
tak cukup menyediakan nutrisi bagimu. Kadang aku pun memasak masakan kesukaanmu
dengan semangat menyala-nyala, namun kita hampir tak lagi punya waktu
mmenyantapnya bersama-sama ya? Kadang aku meronta dalam hampa, namun terakhir
aku menjelma menjadi sastrawan gadungan yang berakrab ria dengan kata-kata
cinta.
Oh ya, kemarin aku membaca sebuah
novel, kisahnya sarat hikmah. Tentang perjuangan seorang istri yang tengah
hamil tua, mesti mengikuti sang suami yang seorang dokter ke pedalaman Papua.
Ia mengikuti suaminya dengan rasa kesal dan setengah hati, terlebih sang suami
hampir tak punya waktu untuk membersamainya di rumah papan mereka. Sang suami
mesti berkeliling mengobati masyarakat yang sakit ke kampung-kampung yang jauh,
berjalan pagi dan petang.. Berhari-hari, hingga di malam yang basah oleh hujan
ia merasakan getar hebat di perutnya. Ia melahirkan, hanya ditolong bidan dan terpaksa
dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan. Malam itu juga, ia dikabari bahwa
suaminya diculik kelompok pergerakan kemerdekaan. Hingga sebulan kemudian sang
suami dikabarkan tewas. Oh, alangkah beratnya. Dari kisah itu aku belajar, apa
yang kualami sekarang tak ada apa-apanya dibandingkan tokoh istri dalam kisah
itu. Kau dan aku masih di kota yang sama bukan? Aku mencoba belajar dari
kesabarannya, dari ketegarannya. Pun sms dan telepon tak bisa menyambung,
selalu ada bayu tempatku menitip rindu. Ingatkan aku kala aku mulai memprotesmu
melebihi yang sepatutnya ya....
Suamiku sayang, laksanakanlah apa
yang menjadi tugasmu disana. Jangan khawatir, Allah selalu menjagaku.
Kutitipkan engkau pula dalam penjagaan-Nya. Kau, aku, kita akan bersua lagi.
Karena aku selalu menantimu pulang...
With love,
Zaujahmu di
rumah cinta.
0 komentar:
Posting Komentar