Kamis, 06 Februari 2014

Resensi Novel Rabithah Cinta




Judul Buku      : Rabithah Cinta
Penulis             : Afifah Afra
Penerbit           : Mizania
Tahun Terbit     : November 2008 (Cet.I)
ISBN               : 978-602-8236-19-5
Tebal Buku       : 336 hlm
Ukuran             : 20cm
Kategori           : Fiksi Islami
Rabithah Cinta di Bumi Papua
          Syakilla mengikuti suaminya yang seorang dokter dan PNS ke pedalaman Papua dengan setengah hati. Bagaimana tidak, karier Syakilla bersama Smart yang dirintisnya sedari nol hingga menjadi perusahaan berskala nasional harus ia tinggalkan begitu saja. Hidup di daerah asing dan sarat konflik serta serba terbatas tentu tak mudah bagi seorang muslimah yang tengah mengandung seperti dirinya. Namun ia harus mengalah demi cinta dan kepatutan sebagai istri.
         Kesabaran Syakilla benar-benar diuji ketika suaminya yang seorang dokter diculik oleh kelompok Operasi Papua Merdeka (OPM). Bahkan kabar yang datang kemudian pun membuatnya benar-benar limbung. Riyan dikabarkan tewas meski jasadnya tak pernah berhasil ditemukan. Doa dan ikhtiar dikerahkannya, namun tetap nihil. Di tengah kegelisahan dan upayanya menyembuhkan hati, kekasihnya di masa lalu, dokter Andrean,  muncul membawa pinangan untuk Syakilla.
          Akankah Syakilla bertahan dengan cinta dan keyakinannya bahwa sang suami masih hidup di luar sana? Ataukah Syakilla memilih menerima pinangan dokter Andrean demi anak-anaknya yang masih kecil dan membutuhkan figur seorang ayah? Oh, sanggupkah rabithah cintanya terkorbankan demi kehidupan baru?
*****
          Novel yang begitu menyentuh, meninggalkan kesan yang begitu mendalam tentang kesabaran dan ketaatan seorang muslimah dalam memposisikan dirinya sebagai istri kepada sang qowwam, yaitu suami. Novel ini pernah terbit sebelumnya dengan judul Obituari Kasih.
          Novel ini mengungkap pandangan baru tentang pengorbanan yang begitu besar bagi seorang muslimah dengan pengorbanan yang tidak mudah, apalagi bagi kebanyakan muslimah dan wanita dengan karier cemerlang di luar kewajibannya sebagai seorang istri di rumah. Muslimah yang mandiri dan punya prinsip hidup yang teguh serta karier yang terbentang luas tentu mengalami peperangan batin yang rumit ketika tiba-tiba semua itu mesti terenggut dan harus dilepaskan dengan sukarela demi cita-cita sang suami. Bahkan tak sedikit rumah tangga yang retak karena persoalan serupa. Akan tetapi, dalam novel ini pembaca mendapatkan pembelajaran berharga tentang sebuah sikap yang memperjuangkan kepatutan dibandingkan tuntutan.
          Seperti karya-karya yang lain dari Afifah Afra, novel yang satu ini juga bukanlah sekedar fiksi belaka. Pun tak hanya berkisah tentang perjuangan seorang muslimah sebagai istri, tetapi juga menyajikan idealisme untuk memperjuangkan kemerdekaan yang sesungguhnya untuk tanah Papua. Hal ini diwakili dengan dihadirkannya tokoh-tokoh OPM yang memperjuangkan terwujudnya kemakmuran di tanah mereka dengan perjuangan yang sayangnya begitu radikal. Mengingatkan pada nuansa yang juga dihadirkan pada novel-novel ideologis lainnya karya Afifah Afra.
          Nilai-nilai yang dikandung inilah yang menjadi nilai plus novel ini. Kepiawaian penulisnya meracik komposisi antara rumah tangga dan konflik lokal begitu pas dan mantap. Sangat terharu membacanya, sekaligus menyeret-nyeret perasaan pribadi untuk merasakan kegemasan seorang istri yang harus merelakan citan-citanya sendiri demi cita-cita sang suami. Bukan hal yang mudah, apalagi jika menilik realita sekarang ini.
          Dari segi tokoh dan sifat yang dilekatkan, tampak bahwa tokoh Riyan disini memiliki kesamaan dengan tokoh Rangga yang muncul pada novel De Winst dan Da Conspiracao. Sifat kelelakian mereka agak mirip, yaitu mudahnya merasakan getar hati dan kekaguman terhadap tokoh wanita yang cantik dan agak radikal. Dalam novel ini misalnya getar dan kekaguman yang dirasakan Riyan pada sosok Sokabai yang bergabung dengan OPM, begitu juga Rangga yang merasakan getar hati dan kekaguman pada sosok Sekar pada De Winst dan Maria dalam Da Conspiracao. Hanya saja, Sokabai dalam novel ini lebih mirip dengan sosok Maria dan sama-sama tergabung dalam kelompok/pergerakan kemerdekaan daerah masing-masing.
          Epilog yang dibiarkan menggantung menyisakan rangkaian imajinasi tersendiri di benak saya sebagai pembaca. Mungkin penulis memang sengaja memberikan ruang bagi pembaca untuk merangkai sendiri lanjutan kisah cinta yang mengharu biru ini. Kisah cinta dan pengorbanan yang rumit dan tak mudah.
          Semoga pembaca tercerahkan dengan hikmah dari novel menawan ini. Selamat membaca ^_^



0 komentar:

Posting Komentar