Demi
Sebentuk Kedewasaan
Pernahkah
engkau merasakan memiliki ikatan persahabatan yang begitu dalam, dimana engkau
merasa sahabatmu adalah salah satu bagian terpenting dalam hidupmu? Sahabat
yang menjadi urat nadi dalam hari-harimu, mengalirkan kebahagiaan ke seluruh
syaraf-syaraf yang membuat bibirmu selalu merekahkan senyum kala bertemu
dengannya? Persahabatan yang juga menorehkan perih dan kau mesti menempuh
perjalanan mengalahkan waktu yang amat melelahkan batin. Ya! Aku pernah
merasakannya. Persahabatan yang mendalam, sahabat yang menjadi belahan jiwa
dalam keseharian namun juga menorehkan konflik.
Dialah
Uma, sahabat akrab pertama yang kumiliki kala aku menginjakkan kaki di
pelataran kampus. Uma gadis tomboy tetapi lembut dan selalu ceria. Akrab dengan
celana komprang dan sepatu ketsnya. Bersama Uma aku banyak menghabiskan lebih
dari separuh waktuku. Berangkat bersama-sama ke kampus, duduk bersebelahan di
kelas, pulang dan jalan-jalan bersama, teman yang asyik berbagi tawa dan juga
tangis. Dia selalu menjadi dirinya, apa adanya. Satu prinsipnya yang juga amat
kusukai, ia tak suka pacaran.
Persahabatan
kami berjalan begitu indah, sampai suatu ketika Uma dengan riang bercerita
tentang seorang teman prianya. Pria itu kakak dari teman kosnya Uma. Seiring
intensitas pria itu mengunjungi adiknya (teman kos Uma), maka semakin sering
pula Uma bertemu dengannya. Intensitas pertemuan itu membawa keakraban yang
berbeda bagi Uma, hingga ia dan pria itu sepakat memulai suatu hubungan
pacaran. Padahal, kala itu pria itu masih berpacaran dengan gadis lain dan Uma
tau itu. Miris bagiku karena mereka tak hanya mengabaikan arti sebuah hubungan
tetapi juga menyakiti wanita yang telah terlebih dahulu menjadi kekasih pria
itu. Diam-diam aku memprotes dalam hati, sebuah protes yang tak pernah aku
suarakan demi melihat binar di mata Uma. Bukankah Uma pernah melihatku terkapar
dalam luka dan duka akibat patah hati yang amat akut? Ah, kegelisahan akhirnya
membuatku bicara kepada Uma, tapi Uma hanya berkata, “Jangan khawatir fren....”
Aku
benci sikap Uma. Aku teramat benci kepada orang yang masuk sebagai orang ketiga
dalam hubungan orang lain, sebenci aku pada wanita yang membuat seseorang di
masa laluku berpaling dariku dengan begitu menyakitkan. Aku menjauhkan diri
dari Uma, persahabatan kami berubah menjadi dingin. Aku berangkat sendiri ke
kampus. Tak ada tegur sapa meski Uma meminta penjelasanku. Aku berusaha keras
mengeliminasi Uma dari ingatanku. Sulit, amat sulit karena sesungguhnya rasa
kesal itu muncul karena aku menyayanginya sebagai saudara. Setiap hari juga
bertemu di ruang kelas. Nampaknya Uma mengerti, dia pun berhenti mengusikku.
Teman-teman lain sampai terheran-heran melihat perubahan kami berdua.
Kau
tau apa yang begitu menyiksaku? Kekhawatiranku terbukti. Uma terluka olehnya. Kudengar pria itu membuatnya menderita. Hari
ke hari kulihat Uma tak lagi bersemangat seperti dulu. Uma lebih sering murung,
bahkan bobot tubuhnya kulihat menyusut. Tak ada lagi jari-jari gemuknya yang
sering menjadi bahan ledekanku. Ia patah hati pada cinta pertamanya. Ah, tapi
aku terlanjur “beku” padanya. Aku terluka, semakin terluka karena keras
kepalanya yang membawa ia pada patah hati yang amat sangat akut.
Waktu
terus bergulir, tak terasa kebekuan kami telah berjalan selama setahun. Waktu
yang terbuang dengan alasan yang sungguh egois. Aku terpuruk dalam keegoisan
dan terjebak pada kegagalan mendidik emosiku sendiri. Aku picik.Aku gagal
memporsikan diri sebagai sahabat sejati. Aku merasa hampa, ada bagian dari
ruang hatiku yang kosong. Padahal, agama kami mengajarkan tak boleh dua orang
itu tak bertegur sapa melebihi tiga hari. Tak boleh memutuskan tali
silaturahim. Lalu lihatlah apa yang aku lakukan? Aku resah, mungkinkah semua
amalanku tertolak dan sia-sia karena mendiamkan sesama? Oh, aku luruh dalam
sujud malam yang panjang kala itu, menggumamkan doa-doa dan berharap campur
tangan-Nya untuk mencairkan dinding es yang terlanjur kubangun.
Ah,
perenungan panjang mengurai sedikit demi sedikit kekusutan pikiranku. Aku mesti
mengakhiri sikap kekank-kanakanku. Ini akan menjadi “perjalanan mengalahkan
waktu” yang berat dalam kehidupan remajaku. Maka sore itu usai kutunaikan shalat asar aku
melangkah mantap ke kos Uma sembari menenteng sekotak martabak favoritnya. Aku mesti bangkit menata diri untuk menjadi
lebih baik. Aku masih punya kesempatan menjadi sahabat sejati untuk seorang
Uma. Aku tak boleh terpuruk dan terjebak pada sifat dan sikap ala anak SD jika
aku ingin menjadi seorang dewasa dengan pikiran dewasa pula. Aku bisa. Maka kuketuk
pintu kos Uma sambil mengucapkan salam. Tak butuh satu menit untukku menunggu
pintu terbuka. Uma berdiri di ambang pintu, mata kami berkaca-kaca, tak ada
ucap, tapi peluk saling merangkul. Aku tau, aku dan Uma mesti belajar dari
pengalaman yang mahal ini. Pengalaman yang membuatku bangkit menjadi orang yang
lebih lapang dan dewasa. Aku pasti bisa. “(#GA_PMW)”
Link Original Soundtrack PMW https://soundcloud.com/jalukancana/sets/ost-perjalan-mengalahkan-waktu atau detailnya di link berikut (ada lima lagu) :
https://soundcloud.com/jalukancana/crystal?in=jalukancana/sets/ost-perjalan-mengalahkan-waktu https://soundcloud.com/jalukancana/aku-pinjam-namamu-live?in=jalukancana/sets/ost-perjalan-mengalahkan-waktu
https://soundcloud.com/jalukancana/pulang?in=jalukancana/sets/ost-perjalan-mengalahkan-waktu
Tulisan ini disertakan dalam GA Novel Perjalanan Waktu http://fatihzam.com/give-away-perjalanan-mengalahkan-waktu-bersama-penerbit-mizan-dan-embrio-hardsystem/
0 komentar:
Posting Komentar