Judul Buku : Jasmine, Cinta Yang Menyembuhkan Luka
Penulis :
Riawani Elyta
ISBN :
978-602-8277-91-4
Penerbit :
INDIVA Media Kreasi
Tebal Buku : 320 halaman
Ukuran : 13x19 cm
Harga Buku : Rp42.000,-
Cinta
yang Menyembuhkan Luka
“Mmm ... Bagaimana kalau ... Jasmine?
Sepertinya nama itu cocok untukmu.”
“Karena Jasmine, berarti melati. Kau
punya wajah yang cantik. Jadi, kupikir, kau cocok dengan nama itu. Tapi .... “
Jasmine,
gadis cantik bermata almond, bak kuntum melati yang tak mampu menutupi harumnya
di antara rerimbunan semak perdu yang mengelilinginya. Harum yang justru
membawanya pada kepahitan. Terdampar pada belitan situasi yang mengharuskannya
berlari dari satu pelarian ke pelarian lainnya demi secercah nafas kebebasan
yang dia impikan. Dalam pekatnya nuansa keputusasaan yang mendera, nasib justru
mempertemukan dirinya dengan seorang Dean Pramudya, sosok pemuda misterius yang
menggawangi kegiatan “ilegal” bersama kelompok yang disebut sebagai Cream
Crackers, namun sejatinya sebagai manusia yang masih memiliki secercah cahaya
dalam gulita nuraninya.
Pertemuan
mereka, dalam gersang dan kerasnya kehidupan yang ironisnya sebenarnya memiliki
latar sosial yang sangat kontradiktif. Dalam luka dan kepahitan yang kian
mendera, rona rasa merah jambu justru tumbuh dan mengakar di sudut hati mereka
yang memang merindu damai. Rasa yang mampu meng”cover” luka-luka jiwa yang kian
akut. Cinta yang menuntun pada terang dan putihnya nurani untuk menunjukkan
eksistensi diri sebagai manusia yang memiliki arti.
Pelarian
demi pelarian Jasmine mempertemukannya dengan beberapa orang yang memiliki
kebeningan nurani yang membantunya menunjukkan cahaya dalam hidupnya. Luthfi,
pemuda sopan dengan sorot mata teduh itu. Malika, wanita tabah yang mengajarkan
jalan kembali pada-Nya, meski dirinya sendiri berjuang melawan penyakit yang
tak seharusnya ia derita, juga ibu Rowena yang nyaris kehilangan harapan untuk
menemukan putri kandungnya yang hilang. Pun meski harapan itu tak juga
terpenuhi hingga akhir cerita, namun Jasmine dan dirinya berhasil saling
mengisi kekosongan melalui pengorbanan yang tragis yang justru berkaitan dengan
sang Prince, Dean Pramudya.
*****
Membaca novel ini, menyegarkan
kembali ingatan kita, pembaca, terhadap peristiwa yang beberapa tahun lalu
menjadi trend kejahatan, berupa maraknya pembobolan akun rekening para basabah
bank yang kehilangan saldo rekening secara “ajaib” dan pembengkakan nominal
pada kartu kerdit yang mesti mereka lunasi. Suatu ide yang tak terekspos oleh
penulis lain dalam bentuk tulisan yang indah dibaca seperti yang ditulis oleh
penulis seperti pada novel ini.
Poin plus berikutnya,
deskripsi yang dipaparkan dalam penceritaan jalannya cerita benar-benar jelas,
seakan-akan saya sebagai pembaca dapat melihat dan membayangkan masing-masing
tokoh dengan segala cirinya, bahkan setiap lekuk ruangan maupun jalan dan
suasana dalam cerita, digambarkan dengan lugas melalui kalimat-kalimat
penulisnya.
Selain itu, cerita
dalam novel ini juga sekaliigus menguak sisi negatif dari sebuah kota di tanah
air yang menjadi salah satu pusat dan lajunya arus kemajuan zaman. Human
trafficking yang tentu sangat merusak generasi bangsa, terutama para gadis
belia nan polos yang seharusnya tak pernah masuk dalam pusaran gelap dunia
pelacuran, entah itu disengaja ataupun tidak.
Adapun mengenai
kekurangan, sulit bagi saya yang bukan seorang penulis untuk menemukan poin
minus tersebut pada novel ini. Namun, sempat tertangkap oleh saya hal terkecil,
benar-benar kecil jika dibandingkan dengan plusnya poin yang dimiliki novel
ini. Saya menemukan sedikit “ketidak konsistenan” kecil, yaitu seperti
tergambar dalam deskripsi berikut.
“ ‘Assalamu’alaikum.
Sudah bangun, Jasmine?’ suara itu berasal dari wanita muda yang menghuni kamar
persis bersebelahan kamarnya dan sepagi ini telah melintasi koridor seraya
mengapit mukena. Dia Malika, satu-satunya
pengurus yayasan yang tinggal di asrama....” (hal. 79).
“ .... Dan subuh tadi,
kesempatan itu terbentang luas. Di saat masing-masing
penghuni asrama melanjutkan tidurnya sesudah subuh ..... “ (halaman 129 paragraf
ke-2).
“ Luthfi masih berusaha
nenjejeri langkah Malika yang sedikit tertatih, lalu melambaikan tangannya pada
Reni dan Sari, dua orang penghuni asrama
yang tengah menanti senja seraya duduk-duduk di bangku depan koridor.” (halaman
143 paragraf ke-3).
Keterangan pada kalimat
yang ditebalkan pada kedua paragraf terakhir menyatakan perbedaan pada
keterangan yang ditebalkan pada paragraf sebelumnya. Mungkin penulis agak lupa
sehingga antara keterangan tersebut menjadi berbeda.
Selanjutnya, ketika
saya membaca cerita demi cerita dalam novel ini, terasa sedikit “buram” dan
kurang kuat tentang si tokoh utama, Jasmine. Tentang latar belakang masa
lalunya sehingga sampai pada situasi yang membuatnya “berlari”. Ternyata,
“rahasia” Jasmine akhirnya terkuak juga pada epilog di halaman-halaman terakhir
cerita sehingga membuat saya baru benar-benar merasakan kekuatan tokohnya.
Namun efek kejut dan letak rahasia pemungkasnya ini mungkin justru sekaligus
menjadi salah satu poin plus bagi novel ini.
Sebagai perbandingan, saya
mengambil salah satu novel lain karya mbak Riawani Elyta juga, A Cup of
Tarapuccino. Keduanya sama-sama mengambil setting di Batam. Sama-sama
menampilkan tentang dunia kejahatan atau kriminalitas menjadi salah satu latar
konfliknya. Pada novel Jasmine, tindak kriminalitas yang diulas yaitu tentang
aksi para crackers, sedangkan pada A Cup of Tarapuccino yaitu tentang ilegal trading. Dalam novel A Cup of
Tarapuccino, belitan perasaan antara tokohnya terasa mengental meski diselingi
dengan kisah dari sisi lain dari kehidupan tokoh prianya, yang menjadikan novel
ini terasa menegangkan. Namun, novel Jasmine ini lebih menyedot perhatian saya
karena latar ceritanya yang lebih “membumi” dan “berani” menyuguhkan fakta dan
realitas tentang human trafficking yang menjadi masalah sosial dan sangat
meresahkan, namun tak banyak tereskpos. Tindakan yang menyebabkan maraknya
praktik prostitusi yang erat dengan penyakit mematikan, sisi lain penderita
ODHA yang kadang diremehkan masyarakat dalam keseharian mereka tanpa memandang
sebab mengapa mereka menyandang penyakit tersebut, sampai pada aktivitas
crackers yang mendulang keuntungan dari . orang-orang yang mereka rugikan.
Novel ini juga menurut saya memiliki cerita yang lebih “tuntas” meski antara
Jasmine dan Dean pada akhirnya terpisah, namun lebih jelas dibandingkan ending
pada novel A Cup of Tarapuccino yang melimpahkan kepada pembaca akhir kisah
perasaan antara kedua tokohnya.
Alhasil, novel Jasmine ini
menjadi salah satu novel yang sangat layak dibaca oleh pecinta buku dan
penikmat novel tanah air. Kelayakannya telah terlebih dahulu ditunjukkan dengan
menjadi pemenang lomba menulis novel kreatif Indiva.
Sekian resensi saya, semoga bermanfaat
dan selamat membaca.
0 komentar:
Posting Komentar