Mawar selalu menjadi Mawar
Mawar yang menyukai
lagu-lagu India
Mawar yang selalu meng-sms
ku
kala mie ayam favorit kami
datang
Mawar selalu menjadi Mawar,
yang tumbuh di bumi
persahabatan kami
Hari itu siang_yang tak bisa kusebut siang karena mendungnya
langit yang mengguyurkan hujan ke bumi, menjadi siang termendung dalam
kebersamaan kami. Tangis dan isak lebur dalam rintik gerimis yang berubah lebat
di pelataran terminal Bertais, di bawah tatapan heran orang-orang yang mungkin
calon penumpang bus dan para calo tiket yang berteduh. Saat itu pasti mereka
seperti menyaksikan potongan adegan sinetron atau telenovela yang syahdu. Sayangnya,
itu bukanlah sinetron, tapi adegan nyata yang masih menyisakan kepingan rindu
di bilik hati yang tak juga rela dengan perpisahan itu.
4,5
tahun lalu, hari yang basah....
Hari itu jadwal likoq pekanan JA, bertempat di mushollah
kampus biru yang nyaman. Aku hendak berwudhu ketika membaca sebaris pesan di
inbox hp bututku, pesan dari Mawar. Sempat heran kenapa ia justru mengirim
pesan di saat seharusnya ia juga sudah berada di mushollah bersama kami. Tapi
sebaris isinya serta merta membuatku panik. Bagaimana tidak, pesan itu berisi
pemberitahuan dari Mawar bahwa ia sedang ada di terminal bersama ibunya. Mawar
akan pergi, kembali ke kampung dan meninggalkan kuliahnya disini. Pergi dalam
artian kami mungkin tak akan bertemu lagi seperti hari-hari biasa. Keadaan
Mawar memang beda hari-hari terakhir
itu. Banyak hal aneh berkelindan dan terjadi bagai kilat dalam hari-hari Mawar.
Tak kusangka, ibunya memutuskan untuk memboyongnya kembali ke tanah Mbojo sana.
Waktu itu jam sudah menunjukkan pukul setengah dua siang.
Bus yang akan membawa Mawar akan berangkat sekitar setengah atau satu jam lagi.
Panik menelusup! Kawan-kawan JA dan aku bersegera menuju jalan raya dan
berusaha mendapatkan bemo untuk ditumpangi. Gerimis mulai menitik satu-satu
bersama kecemasan yang kian membekap jiwa. Tidak!! Mawar tidak boleh pergi!!!
Lama barulah kami mendapatkan bemo. Dengan hati-hati melirik jam, berharap
waktu akan berbaik hati untuk melambat.
Setibanya di Bertais, kami berhamburan mencari Mawar. Tampak
Mawar bersama ibunya di sisi bus yang akan ia naiki. Segera saling memeluk dan
bertanya, kata tercekat hingga tak mampu berbicara selain berkata, “Mawar,
jangan pergi...” Tampak sang murobbiyah berbicara dengan ibunya Mawar. Kami
berharap ada perubahan. Disana, dibawah tatapan heran orang-orang,
sahabat-sahabat JA dan aku saling mendekap bersama Mawar. Mawar, Mawar yang
ceria dan selalu usil, Mawar yang selalu salah menyuarakan huruf e, Mawar yang kadang penuh misteri, tak
boleh! Tak boleh pergi...
Mutiara yang menganak sungai di wajah-wajah yang sendu tak
juga mereda seiring hujan yang mengguyur bumi. Langit seolah sepakat
menyembunyikan sang raja siang di balik awan. Menyempurnakan skenario langit
yang menjadi hari terakhir kebersamaan kami. Pelukan, tangisan, kata-kata
harapan nan perih, jemari yang saling meremas, sayangnya tak bisa mencegah apa
yang sudah digariskan takdir. Tibalah waktu keberangkatan itu, isak semakin
perih tatkala Mawar melangkah naik bersama ibunya, duduk di sisi jendela.
Lambaian tangan tak rela, mata-mata yang semakin memburam karena air mata,
perih yang melumat-lumat ganas cerita yang akhirnya menjadi kenangan. Mawar akhirnya pergi... Mawar tetap pergi...
Mawar tak pernah kembali, hingga kini.... Aku tak tau, apakah Mawar masih ingat
dengan semua itu.
Mawar membawa separuh kenangan kami... Bagaimana mungkin JA
menjadi JA yang utuh tanpa seorang Mawar... Hari itu, langkah-langkah gontai
kami patah-patah dalam gerimis yang mendekap hati-hati yang basah... Hingga
gerimis reda, sesungguhnya tangis itu tak juga reda. Selalu berharap, Mawar
akan kembali.... Agar setangkup rindu ini menemukan muaranya...
(Teruntuk Mawar, kembalilah meski hanya satu
hari... Untuk Teteh terima kasih atas keteduhan jiwa yang membalut luka-luka
yang pepat... Ela, Hal, Tia, Ica, Rika, Ira, kalian adalah bagian terindah yang
pernah ana miliki... Ana uhibbukum
fillah)....
0 komentar:
Posting Komentar