Jumat, 17 Januari 2014

Review Penjaja Cerita Cinta



Judul               : Penjaja Cerita Cinta
Penulis             : @edi_akhiles
Penerbit           : DIVA Press, Yogyakarta
Cetakan 1        : Desember 2013
Tebal               : 192 halaman

Etika dan Estetika Dalam Ragam Terknik Bercerita
Pernah pula Senja ia bersuara, “Aku sudah lupa bagaimana rasanya lelah menunggu. Tapi aku selalu ingat tentang kamu yang berjanji akan datang kala senja yang selalu setia kutunggu...” (hal.18)
Jika ada cerita yang mewartakan rindu yang sangat menyayat hati pemiliknya, pastilah rindu yang dirasakan itu belumlah sepekat rindu yang bersemayam di dalam hati senja. (hal.22)
***

            “Coba pikirkan. Dia tanya tentang infak jumatan di masjid, anggaplah seribu rupiah. Kalau aku mulai ke masjid umur 12 tahun, rutin sekalipun, lalu aku mati pada umur 70 tahun, maka akan ketemu masa selaam 58 tahun. Angka 58 itu kita kalikan 12 bulan, dikalikan lagi 4 minggu dalam satu bulan, maka hasilnya adalah 2.784 kali shalat Jumat. Lalu kita kalikan jumlah infakku sebsesar seribu rupiah, hasilnya 2.784.000. Jadi pak tua tadi menjamin bahwa aku akan masuk surga, plus bonus semua isinya, hanya dengan membelanjakan harta di jalan Allah sebesar Rp. 2.784.000?” (hal.71)
***
            Dunia sastra semakin disemarakkan dengan hadirnya buku kumpulan cerpen berjudul Penjaja Cerita Cinta karya Edi Akhiles ini. Mengawali menulis fiksi pada tahun 1995, ia butuh menulis 700 cerpen hingga untuk pertama kali cerpennya dimuat di sebuah koran harian Yogyakarta. Edi Akhiles merupakan penulis yang sangat produktif. Karya-karyanya bertebaran di media massa, buku-buku tulisannya juga dapat dijumpai di setiap toko buku. Ia dimasukkan dalam Angkatan Sastra 2000, dinobatkan sebagai salah satu Pegiat Sastra di Yogyakarta oleh Balai Bahasa Yogyakarta,  merintis sebuah Diva Press Group, dan juga sebagai direktur di Kampus Fiksi.
            Buku ini berisi kumpulan 15 cerita pendek plus bonus tips menulis dari Edi Akhiles. Dalam buku ini Edi Akhiles begitu matang dalam merangkai setiap kata yang saling menjalin menjadi sebuah cerita yang utuh, indah, dan padat makna. Ada beragam teknik menulis fiksi yang berbeda-beda yang ia sampaikan melalui masing-masing cerita. Keragaman tema, latar, ide, alur, dan semua elemen penyusunnya memberikan kejutan dan warna yang berbeda-beda serta pesan moral yang dapat kita ambil dan pelajari pada setiap tutur dan cerita yang disajikan. Tingkatan bahasa sastra yang digunakan juga beragam, mulai dari yang paling berat, setengah berat, hingga yang paling ringan sekalipun. Kadang membuat kening berkerut dan mesti berhenti sejenak untuk mencerna kalimat yang dituturkan, menganggung-angguk, ber-oooo (merasa sudah paham maksudnya ^_^) , terharu, tersenyum sendiri, hingga tertawa lepas kala membacanya.
            Lihat saja pada cerpen pertama, penjaja Cerita Cinta, misalnya. Cerpen ini dibagi dalam beberapa bagian, kesetiaan, rindu, perpisahan, dan kenangan. Cerita berkelindan mengenai senja yang membenci senja tapi selalu menanti datangnya senja untuk lelaki bermata senja. Tokoh-tokoh di luar cerita senja itu sendiri, seperti si penjaja cerita dan nyonya Srintil sang pendengar cerita membuat kisah ini semakin menarik. Jadi, ada cerita di dalam cerita. Seperti menggigit sepotong lapis legit yang berlapi-lapis. Uniknya, diksi dan gaya bahasa yang digunakan benar-benar memikat meski terkesan berkelindan dan harus membaca dengan sepenuh perhatian agar pembaca memahami apa yang dituturkan penulis. Kejutan di akhir cerita mengenai si penjaja cerita pun memberi kesan baru, jadi antara Senja dengan si penjaja dan pendengar cerita masih berada dalam lingkaran kisah hidup yang sama tentang senja.
            Teknik penceritaan menarik lainnya terdapat pada cerita Dijual Murah Surga Seisinya. Awal cerita mengalir biasa. Selanjutnya, pembaca diajak ikut berpikir mengenai perhitungan matematis jumlah sedekah yang bisa membeli surga dan seisinya itu. Di akhir cerita, terasa pesan yang disampaikan penulis melalui cerita ini begitu menohok diri para pembaca yang mungkin sebagian besar kita (pembaca) sering sekali bersikap pelit dan perhitungan ketika mengeluarkan sedekah. Penulis ingin menyampaikan bahwa sedekah yang sedikit itu lebih baik asalkan rutin dilakukan karena sedekah yang seperti itu memang lebih baik dibandingkan sedekah banyak tapi hanya sekali, bukan? Cerdas!!! Itulah kesan saya terhadap penulisnya.
            Ide cerita dalam buku ini terasa nyaris lengkap, menghubungkan antara manusia dengan sesama, manusia dengan Allah Sang Maha Pencipta. Setiap cerita juga begitu detail dan bahasa deskripsinya begitu hidup seolah-olah pembaca berada di tengah-tengah tempat atau alur cerita. Seperti pada cerita “Secangkir Kopi Untuk Tuhan“ (hal.81), detail yang dituturkan mengembalikan ingatan kita pada tragedi naas yang menimpa salah satu pembalap dunia itu. Begitu juga denga pesan-pesan moral langsung yang begitu jleb  dan mengena, seperti pada cerita “Lengkingan Seorang Ibu yang Ditinggal Mati Anaknya” (hal.149), “SI X, SI X, AND GOD” (hal.167), juga pada beberapa cerita lain. Selalu menyentil perasaan, hati, dan kesadaran.
            Hal yang perlu dikritisi terlepas dari keberhasilan membangun alur dan pesan cerita, Edi Akhiles juga menggiring kita pada etika bercerita untuk menggambarkan apa yang dianggap tabu untuk dibahas, menjadi dapat diterima, dibalut dengan gaya estetika yang tinggi dalam bertutur sehingga tidak menggerus nilai yang ingin disampaikan. Ragam teknik bercerita Edi juga menyimpulkan bahwa seorang penulis tak perlu terjebak pada satu gaya bercerita yang mengungkung eksplorasi kita dalam bertutur. Karena gaya yang monoton dan konvensional hanya membuat pembaca jenuh. Gaya bahasa yang disesuaikan dengan ragam usia pembaca juga menunjukkan bahwa sebagai penulis tak harus menggunakan bahasa tingkat tinggi yang seolah menunjukkan perbedaan intelegensia penulis dan pembaca.
            Membaca kumpulan cerpen dalam buku ini juga membuat kita berpikir bahwa penulis tak perlu menggurui dan membuat jalan cerita begitu rumit untuk menyampaikan sebuah pesan. Etika dan estetika serta ragam teknik bercerita-nya menjadi contoh yang bisa dipraktikkan oleh penulis lain. Penguasaan teknik dan detail cerita menjadi penopang penting bersama unsur-unsur lain sehingga elemen cerita tidak tumpang tindih.
            Sekali lagi, sebagian cerita dalam buku ini sungguh mampu mempengaruhi pola pikir dan tindakan pembaca. Beragam ilmu bisa diambil dalam teknik berceritanya. Lebih beragam jika dibandingkan dengan kumpulan cerita lain yang mengangkat tema, alur, dan unsur cerita lainnya yang hampir sama tanpa campuran warna berbeda. Tak akan rugi untuk memiliki dan membaca buku yang satu ini J



0 komentar:

Posting Komentar