Judul Buku : Hawa
Penulis : Riani Kasih
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : Juli 2013
ISBN : 978 – 979 – 22 – 9759 – 1
Tebal Buku : 256 hlm
Ukuran Buku : 20 cm
Harga Buku :Rp45.000,-
Genre : Roman (Amore)
Filosofi Hidup dari Setangkai Dandelion
“... kebahagiaan itu menjadi milik orang yang mampu
membedakan mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus dilepaskan.”
***
Begitulah Hawa! Bertahun-tahun
menjalin hubungan bersama Abhirama, kekasihnya, nyatanya Hawa tetap saja merasa
dirinya berada pada urutan kesekian dalam skala prioritas sang kekasih, bahkan
hingga menjelang pernikahan mereka. Hawa yang tak sanggup menerima sikap tak
peka kekasihnya memilih melarikan diri
ke rumah omanya di sebuah desa di pedalaman Kalimantan Barat.
Di tengah pelariannya, Hawa bertemu dengan Landu, seorang polisi gagah dan
tampan yang bertugas di Kapuas Hulu. Landu yang dewasa dan mengayomi. Sikapnya mampu
menghangatkan hati Hawa dan menarik gadis itu dari aktivitas mati suri nya. Merubah pandangan Hawa
tentang pertemuan pertama mereka yang kaku dan tidak menyenangkan hingga cinta
perlahan menyemaikan bibitnya di hati mereka.
Akan tetapi, kehadiran Abhirama yang
menyusulnya ke pedalaman itu menggoyahkan hati Hawa. Cinta mereka bahkan hampir
berlabuh di dermaga pernikahan. Apalagi Abhirama ternyata sahabat akrab Landu. Mampukah
Hawa memilih sekaligus mengorbankan dan meremukkan hati salah satu dari lelaki
itu? Bagaimana Hawa menghadapi kenyataan hidupnya ke depan yang ternyata sangat
mengejutkan serta merenggut penglihatannya? Baca selengkapnya dalam novel
romantis ini. (^_^)
Novel yang romantis. Pada bagian-bagian
tertentu kadang memberi kejutan hingga pipi turut bersemu membacanya. Novel ini
dinobatkan menjadi juara ke-2 Lomba Penulisan Novel Amore tahun 2012 yang
diadakan oleh Gramedia Pustaka Utama. Penulisnya merupakan alumnus Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Program Studi Pendididkan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Novel Hawa ini terbagi dalam dua
bagian besar, bagian satu dan bagian dua yang di dalamnya terdapat beberapa bab
cerita. Bagian pertama sebagian besar diporsikan untuk kisah cinta yang
mengalir lancar antara tokoh-tokohnya. Bagian dua diporsikan untuk kisah Hawa
pasca menikah. Saya merasa, di bagian dua inilah saya mendapatkan inti dan pesan
yang disampaikan penulis lewat filosofi bunga dandelion. Berikut petikan dialognya yang memberi
inspirasi,
“Apa
nama bunga ini?” tanya Landu.
“Orang
Eropa menyebutnya dandelion. Di Indonesia kita menyebutnya Randa Tapak. Semacam
prajurit angin.”
“Prajurit
angin?” tanya Landu heran.
“Ya.
Disebut prajurit angin karena mereka menebarkan benihnya dengan bantuan angin,
terbang ke mana pun angin membawa. Bisa saja mendarat ke tanah yang subur, ke
danau, dan tanah gersang. Kita sebenarnya perlu belajar dari bunga kecil ini
bagaimana menerima kenyataan hidup. Dandelion yang terbawa angin tidak tahu di mana
ia akan jatuh dan bagaimana kelak Tuhan menentukan cerita selanjutnya. Bahagia,
sedih, atau hilang selamanya tanpa sempat menjadi dandelion baru.”
Ya! Seperti kata penulisnya, God is a good director (halaman 226), maka Tuhan telah menggariskan
nasib dan takdir untuk masing-masing hamba-Nya dengan sebaik-baiknya. Dalam hidup,
tak ada perjalanan nasib yang mulus-mulus saja. Pun begitu dengan duka dan
kesedihan, dia tak akan kekal abadi. Semuanya pastilah saling berganti dalam
skenario yang telah dirancang-Nya. Maka ketika manusia menghadapi ujian dan
cobaan kehidupan, hendaknya kita dapat mengambil pelajaran tentang filsafat
hidup dari bunga dandelion seperti yang diumpamakan dalam dialog di atas. Dalam
novel ini, kita dapat mengambil pesan penulisnya bahwa Tuhan telah merancang
kehidupan manusia dengan sebaik-baiknya. Jangan pernah putus asa ketika cobaan
dan musibah menimpa. Sebaliknya, terangilah hati untuk menerima dan menjalani
cobaan tersebut dengan dada yang lapang agar hidup juga terasa lapang dan manis.
Selain itu, satu lagi pesan yang
dapat saya tangkap dari novel ini, yaitu kebahagiaan itu menjadi milik orang
yang mampu membedakan mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus
dilepaskan. Artinya, setiap individu mestinya bijak dalam menentukan pilihan
agar dapat meraih kebahagiaan.
Akan tetapi, dalam novel ini saya
menemui bahwa tokoh Hawa terkesan rapuh dan agak kurang dewasa dalam mengambil
keputusan. Sikap Hawa yang memilih lari menjelang
pernikahan kemudian menyalahkan diri sendiri hingga mengurung diri
berbulan-bulan terasa kontradiktif dengan sikap seorang dewasa. Memang, dalam
novel ini tokoh Hawa tidaklah digambarkan dengan gamblang sebagai seorang gadis
bersikap dewasa bahkan mudah terbawa suasana dan mungkin itu mewakili sikap dan
sifat sebagian wanita yang memang sentimentil. Namun novel ini memang sebuah
novel romantis yang memberi kejutan.
Sebuah novel yang tentu saja layak
untuk dimiliki dan diselami kisahnya. Semoga resensi ini bermanfaat. Selamat
membaca ^_^
0 komentar:
Posting Komentar