Rabu, 29 Januari 2014

Review Novel Perjalanan Hati




Judul Buku       : Perjalanan Hati            
Penulis              : Riawani Elyta
Penerbit            : Rak Buku
Tahun Terbit     : Mei, 2013
ISBN               : 6021755960
Tebal Buku       : 194 halaman
Ukuran Buku    : 13x19 cm
Harga Buku      : Rp43.000,-
Kategori           : Fiksi
Kejujuran dan Jejak Cinta di Gugus Krakatau
Hampir sebagian besar perceraian dalam rumah tangga disebabkan karena ketidaksetiaan, ketidakjujuran, dan kurang sabarnya para pasangan menyelesaikan persoalan yang timbul. Namun, melalui cerita dalam buku ini kita bisa belajar tentang itu semua. Bahwa kesetiaan dan kejujuran menjadi sangat penting, pun ketika muncul persoalan karena kesalahan di masa lalu pasangan, janganlah sampai menjadi penghantar bagi sebuah perpisahan. Bahwa para pasangan tidak harus mempertahankan egoisme masing-masing demi sebuah keutuhan bersama.Novel ini juga mengandung banyak qoute menarik dan menginspirasi tentang rumah tangga.
Maira memutuskan untuk melakukan kegiatan backpacker lagi, kali ini tujuannya adalah ke gugus Anak Krakatau. Krakatau dan gunung-gunung tinggi menjulang memang selalu menyiratkan kenangan dan cinta baginya. Gununglah yang menumbuhkan harapannya kepada Andri, gununglah yang menyatukannya dengan Yudha, sang suami dalam pernikahan. (hal.4)
Alasannya mengikuti pendakian kali ini bukanlah semata-mata karena kedatangan Donna, mantan kekasih sang suami yang tiba-tiba hadir dengan anak hasil hubungannya dengan suami Maira ketika masih pacaran dulu. Ada alasan lain yang lebih utama, alasan yang menduduki urutan pertama dalam benak dan hati Maira, yaitu satu sosok di masa lalu yang bahkan hingga kini tak juga mampu Maira enyahkan dari hatinya. Sosok yang menghilang, yang selalu mendampingi hari-harinya dulu semasa kuliah dan semasa menjadi anak mapala, meski kebersamaan mereka yang tak bernama dan tak juga diperjelas dengan status pacaran atau persahabatan. Selalu menguarkan rindu yang menyesak ketika sosok itu diketahuinya muncul kembali dan menjadi salah satu peserta dalam kegiatan backpacker itu. Sosok lelaki dengan sikap cuek dan tatapan bola mata pekatnya yang justru menjadi magnet bagi Maira. Sosok itu adalah Andri.
Pertemuan itu benar-benar terwujud kini, justru di saat Maira telah membangun rumah tangga bersama Yudha. Maira menghabiskan hari-hari perjalanan dan pendakian bersama Andri, namun Maira justru menyadari sesuatu yang lain bahkan ketika pengakuan jujur Andri tentang perasaannya terhadap Maira terlontar jelas. Namun Maira justru mengingat kata-kata Andri, “Pernikahan nggak selamanya menjadi gembok besar yang menghalangi kesempatan orang lain untuk memasukinya selama yang empunya juga selalu alpa memasang gembok itu rapat-rapat” (Chapter 5, hal.53). Maira bukannya alpa memasang gembok, bahkan ia telah dengan sengaja membuka gembok itu untuk Andri untuk memastikan kekuatan perasaannya terhadap Andri dan suaminya.
Yudha, sang suami bukannya tak tau alasan istrinya mengikuti pendakian kali ini. Meski dibakar cemburu, tapi dirinya yakin bahwa istrinya pasti akan menemukan jawaban dari masalah dan pemikiran rumit yang dirahasiakannya. Yudha pun harus memilih sikap terhadap Donna, kekasihnya di masa lalu yang kini mengasuh anak mereka seorang diri.
Perjalanan demi perjalanan hati Maira dan Yudha menapaki masa lalu, akhirnya menemukan sebuah muara keputusan bahwa yang paling penting sekarang adalah menjalani rumah tangga mereka berdua secara bahagia. Masa lalu adalah pengalaman. Satu hal penting yang kini mereka sadari, kejujuran adalah awal untuk mewujudkan keputusan itu...
Tema yang diangkat dalam novel ini terasa pas dengan persoalan yang kadang dihadapi oleh sebagian orang, khususnya bagi mereka yang sedang menjalani bahtera rumah tangga. Siapapun tahu, masa lalu terkadang masih menyisakan kenangan mendalam kita terhadap atau dengan seseorang, entah itu tentang perasaan atau persoalan yang tak tuntas atau tak terselesaikan. Masa lalu yang sebagian kita mungkin masih berharap untuk dapat mengulangi atau sekedar bernostalgia, namun terkadang menjadi momok dan bumerang bagi diri dan rumah tangga. Tentu, perasaan-perasaan seperti itu seharusnya dienyahkan. Mengutip kalimat penulis dalam buku ini, “terkadang, ada bagian dari masa lalu yang cukup kita jadikan kenangan dan pelajaran, bukan untuk dibawa bersama dalam kehidupan yang sekarang, karena kehadirannya justru hanya akan menjadi kerikil yang menusuk dalam diam.” (Chapt.17, hal.186) Karena “tentang sebuah rasa yang terus tumbuh dan terpelihara. Jika tidak pada tempatnya, maka ia tak ubahnya ilalang kering.” (Chapt. 8, hal.73).
Kesimpulannya, kejujuran dan kepercayaan kepada pasangan menjadi suatu hal yang sangat penting dalam membina rumah tangga. Cinta dan segala kejadian di masa lalu hendaknya dijadikan pengalaman berharga namun jangan sampai mengganggu rumah tangga yang sekarang. Tekad dan kesungguhan untuk menjadi lebih baik demi keutuhan rumah tangga merupakan hal yang harus diperjuangkan. Semua hikmah itu bisa kita dapatkan dalam buku ini. selamat membaca... 

(Dimuat di Koran Jakarta, Rubrik PERADA Edisi Kamis, 30 Januari 2014 di http://koran-jakarta.com/?4601-kejujuran-dan-jejak-cinta-di-gugus-krakatau)

0 komentar:

Posting Komentar