Kamis, 25 September 2014

Resensi Novel Peluru di Matamu



Judul Buku      : Peluru di Matamu
Penulis             : Afifah Afra Amatullah
Penerbit           : PT Era Adicitra Intermedia
Tahun Terbit    : April 2007
Tebal Buku      : 204 halaman
Ukuran Buku  : 21 cm
ISBN               : 979-3414-05-7
Harga              : Rp25.000,-

Kala Kentalnya Darah Tak Selalu Mengantalkan Ikatan

            Jack Umar Ali Syah, pemuda tampan ala don juan itu memutuskan meninggalkan  Amerika yang telah memberinya luka dan kekecewaan. Ia hijrah ke Swiss dan melanjutkan pendidikan di universitas kedokteran Swiss, Universite de Geneva,  yang mempertemukannya dengan sosok Ivana Martin, senior cerdas nan cantik penganut atheis dan salah satu kader komunis yang militan. Obsesinya pada sang pujaan hati membuat Umar atau yang lebih senang dipanggil Jack itu meninggalkan segala yang dimilikinya.

             Bersama, Jack dan Ivana mengunjungi tokoh komunis di Indonesia. Latar belakang keluarga membuat Jack menjadi sasaran penculikan pihak DI/TII sekaligus pelaku penting dalam trik dan aksi menghancurkan Al-Ikhwah miliki ayahnya sendiri. Pertemuan Jack dengan sang ayah dan bunda ternyata menimbulkan getar tulus di antara kecamuk rasa bersalah di hati Jack. Namun, kuatnya cinta kepada sang Ivana menjadi pertentangan dalam batinnya. Akankah Jack atau Umar menjadi peluru yang menghancurkan ketentraman ayah dan bunda yang begitu merindukannya juga Al-Ikhwah ataukah Jack akan memilih kembali pada kebenaran hakiki? Yuk simak kisah lengkapnya dalam novel ini, Peluru di Matamu.
***
            Peluru di Matamu merupakan novel pamungkas dari sebuah trilogi perjuangan setelah dua buku sebelumnya terbit berturut-turut,  Bulan Mati di Javasche Oranje dan Syahid Samurai. Novel ini (Peluru di Matamu) mengambil setting tahun 1950an yang menjadi era pimpinan presiden RI pertama, Ir, Soekarno, yang kala itu dianggap begitu dekat dengan pihak komunis dan memusuhi kaum pergerakan Islam yang lebih dicap oleh pemerintah sebagai pihak pemberontak.
            Adapun peran atau tokoh utama dalam novel ini dominan dipegang oleh tokoh Jack atau Umar, putra dari dua tokoh utama dalam dua novel sebelumnya, Mahmud dan Khadijah. Namun, keberadaan tokoh-tokoh baru dalam novel ini tidak mengesampingkan peran tokoh-tokoh sebelumnya yang tetap memainkan peranan penting dan menyajikan alur cerita yang utuh sehingga cerita inti dari dua novel sebelumnya tetap menjadi tema utama.
            Rangkain kisah yang dihadirkan begitu pekat menggambarkan keadaan pemerintahan di kala itu (masa-masa awal kemerdekaan) antara pemerintah dan pihak-pihak pergerakan yang mengembangkan dan memperjuangkan Islam serta apiknya skenario komunis yang sangat berhasrat memegang kendali pemerintahan dengan menempuh cara-cara dan trik yang begitu kotor dan keji. Betapa pada masa itu Islam berkembang di bawah pengawasan yang tak luput dari ancaman penghancuran bahkan sesama muslim disusupi berbagai prasangka antar sesama yang menjadikan mereka mudah diadu domba. Di satu sisi, dapat kita rasakan betapa gelora jihad akan tegaknya kebenaran melalui pemahaman yang benar juga begitu mengalir dalam cerita novel ini tanpa mengesampingkan bahwa kebersihan hati, pemikiran yang tenang, dan sikap yang tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan dan tindakan tetap diperlukan untuk menjaga kemaslahatan bersama, terlebih-lebih sesama muslim.
            Kentalnya nuansa perjuangan dan pertentangan ideologi tidak menjadikan novel ini kering dari nuansa romantisme yang menjadikan cerita lebih hidup dan disajikan begitu mengalir indah sesuai tuntunan Rasulullah. Hal ini dapat kita simak melalui kisah kehidupan rumah tangga sang tokoh Madmud Ali Syah bersama kedua istrinya, Khadijah (Johana Alexandra Rijkaard) dan istri muda, Hanifah beserta anak-anaknya. Hati yang mencintai kedua istri karena Allah meski dengan cinta yang berbeda, tuntunan agar suami mampu berlaku adil dalam bersikap, rasa cemburu yang kerap hadir menghiasi hati, menjadi “bumbu” yang mengharu biru dalam cerita yang tak hanya sekedar bumbu cerita, tapi juga ada selipan hikmah dari Al-Quran dan as-Sunnah yang dapat diambil dan diterapkan oleh para pembaca dalam segi kehidupan sehari-hari.
            Melanjutkan dua novel sebelumnya, novel ini benar-benar menjadi pamungkas yang sempurna, bukan hanya pelengkap kisah dan mengandung tak hanya nilai historis, islamis, tapi juga tetap menggetarkan dengan aura perjuangan dan semangat serta ideologi penulis yang berapi-api. Berharap pembaca dapat mengambil setiap hikmah dari kisah yang mengharukan ini.
            Selamat membaca dan bertamasya di kebun kata berbuah hikmah. Semoga semangat tetap melekat di hati kita, membaca dan menuliskan kisah berhikmah, menyampaikan dakwah melalui berbagai media, termasuk tulisan ^_^

           

           
           
           





0 komentar:

Posting Komentar