Judul Buku : Peluru di Matamu
Penulis : Afifah Afra Amatullah
Penerbit : PT Era Adicitra Intermedia
Tahun Terbit : April 2007
Tebal Buku : 204 halaman
Ukuran Buku : 21 cm
ISBN : 979-3414-05-7
Harga : Rp25.000,-
Kala Kentalnya Darah Tak Selalu Mengantalkan Ikatan
Jack Umar Ali Syah, pemuda tampan ala
don juan itu memutuskan meninggalkan Amerika yang telah memberinya luka dan
kekecewaan. Ia hijrah ke Swiss dan melanjutkan pendidikan di universitas kedokteran
Swiss, Universite de Geneva, yang mempertemukannya dengan sosok Ivana
Martin, senior cerdas nan cantik penganut atheis dan salah satu kader komunis
yang militan. Obsesinya pada sang pujaan hati membuat Umar atau yang lebih senang
dipanggil Jack itu meninggalkan segala yang dimilikinya.
Bersama, Jack dan Ivana mengunjungi tokoh
komunis di Indonesia. Latar belakang keluarga membuat Jack menjadi sasaran
penculikan pihak DI/TII sekaligus pelaku penting dalam trik dan aksi
menghancurkan Al-Ikhwah miliki ayahnya sendiri. Pertemuan Jack dengan sang ayah
dan bunda ternyata menimbulkan getar tulus di antara kecamuk rasa bersalah di
hati Jack. Namun, kuatnya cinta kepada sang Ivana menjadi pertentangan dalam
batinnya. Akankah Jack atau Umar menjadi peluru yang menghancurkan ketentraman
ayah dan bunda yang begitu merindukannya juga Al-Ikhwah ataukah Jack akan memilih
kembali pada kebenaran hakiki? Yuk simak kisah lengkapnya dalam novel ini, Peluru
di Matamu.
***
Peluru di Matamu merupakan novel
pamungkas dari sebuah trilogi perjuangan setelah dua buku sebelumnya terbit
berturut-turut, Bulan Mati di Javasche
Oranje dan Syahid Samurai. Novel ini (Peluru di Matamu) mengambil setting tahun
1950an yang menjadi era pimpinan presiden RI pertama, Ir, Soekarno, yang kala
itu dianggap begitu dekat dengan pihak komunis dan memusuhi kaum pergerakan Islam
yang lebih dicap oleh pemerintah sebagai pihak pemberontak.
Adapun peran atau tokoh utama dalam
novel ini dominan dipegang oleh tokoh Jack atau Umar, putra dari dua tokoh
utama dalam dua novel sebelumnya, Mahmud dan Khadijah. Namun, keberadaan
tokoh-tokoh baru dalam novel ini tidak mengesampingkan peran tokoh-tokoh
sebelumnya yang tetap memainkan peranan penting dan menyajikan alur cerita yang
utuh sehingga cerita inti dari dua novel sebelumnya tetap menjadi tema utama.
Rangkain kisah yang dihadirkan
begitu pekat menggambarkan keadaan pemerintahan di kala itu (masa-masa awal
kemerdekaan) antara pemerintah dan pihak-pihak pergerakan yang mengembangkan
dan memperjuangkan Islam serta apiknya skenario komunis yang sangat berhasrat
memegang kendali pemerintahan dengan menempuh cara-cara dan trik yang begitu kotor
dan keji. Betapa pada masa itu Islam berkembang di bawah pengawasan yang tak
luput dari ancaman penghancuran bahkan sesama muslim disusupi berbagai
prasangka antar sesama yang menjadikan mereka mudah diadu domba. Di satu sisi,
dapat kita rasakan betapa gelora jihad akan tegaknya kebenaran melalui
pemahaman yang benar juga begitu mengalir dalam cerita novel ini tanpa
mengesampingkan bahwa kebersihan hati, pemikiran yang tenang, dan sikap yang
tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan dan tindakan tetap diperlukan
untuk menjaga kemaslahatan bersama, terlebih-lebih sesama muslim.
Kentalnya nuansa perjuangan dan
pertentangan ideologi tidak menjadikan novel ini kering dari nuansa romantisme
yang menjadikan cerita lebih hidup dan disajikan begitu mengalir indah sesuai
tuntunan Rasulullah. Hal ini dapat kita simak melalui kisah kehidupan rumah
tangga sang tokoh Madmud Ali Syah bersama kedua istrinya, Khadijah (Johana
Alexandra Rijkaard) dan istri muda, Hanifah beserta anak-anaknya. Hati yang
mencintai kedua istri karena Allah meski dengan cinta yang berbeda, tuntunan
agar suami mampu berlaku adil dalam bersikap, rasa cemburu yang kerap hadir
menghiasi hati, menjadi “bumbu” yang mengharu biru dalam cerita yang tak hanya
sekedar bumbu cerita, tapi juga ada selipan hikmah dari Al-Quran dan as-Sunnah yang
dapat diambil dan diterapkan oleh para pembaca dalam segi kehidupan
sehari-hari.
Melanjutkan dua novel sebelumnya,
novel ini benar-benar menjadi pamungkas yang sempurna, bukan hanya pelengkap
kisah dan mengandung tak hanya nilai historis, islamis, tapi juga tetap menggetarkan
dengan aura perjuangan dan semangat serta ideologi penulis yang berapi-api. Berharap
pembaca dapat mengambil setiap hikmah dari kisah yang mengharukan ini.
Selamat membaca dan bertamasya di
kebun kata berbuah hikmah. Semoga semangat tetap melekat di hati kita, membaca
dan menuliskan kisah berhikmah, menyampaikan dakwah melalui berbagai media,
termasuk tulisan ^_^
0 komentar:
Posting Komentar