Judul Buku : Ayat – Ayat Cinta 2
Penulis :
Habiburrahman El Shirazy
Penerbit :
Republika Penerbit
Tahun Terbit : Desember 2015 ( Cet.V)
Tebal Buku : vi + 698 hlm
Ukuran Buku : 13.5x20.5 cm
ISBN :
978-602-0822-15-0
Mengejar Pribadi
Muslim Ideal, Sejauh Manakah Kita?
Fahri Abdullah, lelaki sholeh asal
Indonesia itu kini tinggal di Edinburgh, Skotlandia, dan menjadi staf pengajar
(dosen) di University of Edinburgh dalam bidang ilmu Filologi. Ia menjadi salah
satu doktor termuda yang dikagumi karena kecerdasannya. Ia tinggal di rumahnya
di kawasan Stoneyhill Grove bersama Paman Hulusi yang selalu setia menemaninya
sebagai sahabat, supir, dan membantu menyiapkan urusan dapur di rumah Fahri.
Tinggal di negeri asing sebagai
muslim dan minoritas, tak membuat Fahri lemah atau kehilangan percaya diri. Ia
senantiasa tampil cemerlang, tegas terhadap hel-hal yang sifatnya batil, namun
lembut kepada tetangga dan orang lain. Ia selalu berupaya membantu dan
meringankan beban para tetangga yang memerlukan bantuan meski mereka semuanya
nonmuslim, termasuk Jason dan Keira yang terang-terangan memusuhi dan
menganggapnya teroris. Ia bahkan membantu Sabina, pengemis buruk rupa dan bersuara
serak yang kerap meminta-minta di masjid tempat Fahri sering shalat.
Kebaikan Fahri tak hanya mengundang
kekaguman, tapi juga kebencian dari sekelompok ekstrimis Israel pimpinan Baruch
yang memiliki pengaruh besar hingga Fahri terancam dipecat dari tempatnya
mengajar. Bahkan ia harus bertaruh nyawa ketika Baruch hampir membunuhnya.
Kehidupan Fahri pun tak lepas dari
kisah asmara. Pilunya, Fahri kehilangan Aisha tanpa jejak sejak bertahun-tahun
lalu ketika Aisha pergi ke Palestina. Hulya, sepupu Aisha, diam-diam telah
jatuh cinta kepada Fahri. Adapula tawaran dari sang guru untuk menikahi
keponakannya, juga dari seorang kenalan. Fahri nelangsa, sanggupkah ia menikahi
wanita lain jika dalam hatinya hanya ada nama Aisha? Akankah ia mengabaikan
sunnah Rasul agar tak berlama-lama dalam keadaan membujang? Bagaimana lika-liku
perjalanan Fahri dalam hidup bertetangga dengan orang-orang yang membencinya,
juga menghadapi tantangan global dan isu-isi kontemporer yang menyudutkan
muslim? Akankah ia mampu menunjukkan diri sebagai muslim ideal dan bermartabat?
Siapa sebenarnya Sabina? Yuk cari tau dalam novelnya...
*****
Mengagumkan. Itulah kesan pertama
saya sejak awal membaca sinopsis dan komentar-komentar tentang novel Ayat-Ayat
Cinta 2 ini. Buku yang disusun dengan apik, bahasa yang mengalir indah,
menggetarkan jiwa saya sebagai pembaca. Sangat pantas disebut sebagai novel
pembangun jiwa. maka tak heran jika Kang Abik, penulisnya, dianugerahi dengan
berbagai penghargaan dalam bidang kepenulisan dan sastra.
Ayat-Ayat Cinta 2 ini merupakan
sekuel dari Ayat-Ayat Cinta 1 yang terbit tahun 2004 silam dan sempat booming
ketika kisah dalam novel tersebut diangkat ke layar lebar. Hayo, siapa yang
masih ingat para pemerannya? Yup, sosok Fahri yang diperankan Fedi Nuril, Aisha
diperankan Rianty Cartwright dan... sebagai Maria. Benar-benar kisah yang
menarik dan menguras air mata. Tak sampai disitu, bahkan para wanita
ramai-ramai menggilai sosok Fahri sehingga tercetuslah sebutan The Fahriholic. Hayoo, siapa nih para
pembaca yang termasuk dalam barisan The
Fahriholic ini ? Siap-siap semakin terpesona kembali setelah membaca
sekuelnya ini ya ^_^
Yup, sosok Fahri memang sosok
laki-laki dengan kategori nyaris perfect yang
diimpikan banyak wanita, terlebih bagi para wanita yang memahami kriteria
lelaki sholeh itu seperti apa. Di dunia ini, tentulah satu-satunya manusia yang
paling sempurna dan patut dijadikan idola dan tauladan hanyalah Rasulullah SAW.
Beliau sosok laki-laki yang sempurna dalam sifat dan sikap, lembut pada sesama,
romantis dan adil dalam memperlakukan istri-istri beliau. Setelah Beliau, tentu
ada sosok para sahabat yang tingkah lakunya paling dekat dengan sang Rasul.
Namun, mereka semua telah tiada. Di dunia yang modern dan gegap gempita ini,
orang-orang sholeh berjuang dengan lebih keras untuk meneladani pribadi sang
Rasul.
Sebaik-baik manusia, tentulah yang
paling bertakwa kepada Allah SWT. Alangkah indahnya jika takwa itu terus diupgrade. Apalagi jika takwa disertai
dengan usia muda, kaya, serta bila mati semoga bisa masuk surga. Eitss, tapi
yang terakhir belum tentu bisa ya. Karenanya, seorang muslim mesti senantiasa
bertakwa dengan mematuhi perintah Allah, menjauhi larangan serta berupaya
meneladani Rasulullah dalam setiap sendi kehidupannya. Seorang muslim mestinya
senantiasa mengejar pribadi ideal sebagai seorang muslim. Nah, apa hubungannya
pembahasan ini dengan novel Ayat-Ayat Cinta 2 ini? Ya, karena pribadi muslim
ideal ini menurut saya tercermin pada tokoh sentral dalam novel ini, Fahri
Abdullah.
Sudah menjadi tugas seorang muslim
untuk menunjukkan keindahan Islam yang bersifat rahmatan lil ‘alamin. Bagaimana? Tunjukkanlah kebermanfaatan
sebagai seorang muslim. Muslim yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang
lain. Sesuai petuah sang Rasul bahwa manusia yang paling baik adalah manusia
yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain. Maka, begitulah seorang Fahri
digambarkan dalam novel ini. Pribadi muslim yang memberi manfaat untuk orang
lain, sekalipun kepada para tetangga yang semuanya nonmuslim, termasuk kepada
Jason dan Keira yang sangat membencinya. Apakah Fahri balas dengan membenci
mereka? Tidak. Ia tunjukkan kebesaran jiwa, ia tunjukkan bahwa seorang muslim
itu bukanlah seperti sangkaan mereka. Ia membantu nenek Chatarina yang seorang
Yahudi, Brenda yang sering mabuk-mabukan dan pulang malam, hingga mereka semua
sangat merasakan manfaat dan kebaikan hidup bertetangga bersama Fahri. Fahri
pun kerap berdonasi untuk rakyat Palestina dan mereka yang membutuhkan uluran
tangannya tanpa diminta. Itulah keindahan akhlak dari seorang muslim. Menebar
manfaat tanpa mengherap pamrih dari manusia, welas asih dan tetap rendah hati.
Seorang muslim yang hanif demi mengejar ridho Rabb nya.
Kepribadian Fahri selanjutnya yang
mencerminkan sikap yang seharusnya dari seorang muslim yaitu memanfaatkan waktu
sebaik-baiknya, tak ada yang tersia-siakan. Waktu ibarat pedang bermata dua,
jika tak digunakan dengan baik, maka ia akan menebasmu. Setiap langkah kaki ke
masjid atau ketika di dalam mobil sekalipun, Fahri tetap melafalkan zikir
dengan penuh penghayatan. Shalat sunnah tetap ia dirikan meski di ruang
kantor kampus tempat ia mengajar.
Hafalan Quran tetap ia rutinkan. Efisiensi waktu ia terapkan dalam menjalani
aktivitas sehari-hari. Jadwal-jadwalnya sangat padat, namun tetap memiliki
waktu untuk bermuamalah atau berdiskusi dan bertemu dengan orang lain.
Seorang Fahri adalah muslim yang
cerdas. Selepas menyelesaikan S1 di Al-Azhar, Cairo, menyelesaikan gelar master
di Pakistan, dan mengambil gelar doktor di Jerman. Ia terus mengembangkan
riset, menulis jurnal yang diterbitkan oleh media internasional, dan menjadi
salah satu doktor muda dan pakar ilmu Islam yang disegani karena prestasinya. Bahkan
ia disejajarkan dengan para cendekiawan Muslim terkemuka tingkat dunia. Ia
cerdas dalam bersikap dan berpendapat. Misalnya, ketika seorang mahasisnya
bertanya tentang bom bunuh diri ( paragraf awal di hlm.9 ). Jika Anda, saya,
dihadapkan pada pertanyaan mengapa ada muslim yang melakukan bom bunuh diri,
atau mengapa muslim itu menjadi teroris, apa jawaban kita? Saya, Anda, mungkin
akan gelagapan dan ini akan membuat image muslim tampak buruk. Tapi lihatlah
dalam novel ini betapa indah cara Kang Abik sebagai penulis menjawab pertanyaan
tersebut melalui sosok Fahri. Dengan analogi yang pas dan telak sehingga dapat
dicerna dan diterima orang lain. Jadi, terhadap mereka yang phobia terhadap Islam, yang menganggap
Islam adalah agama teroris, cobalah baca novel ini. Maka Anda akan tergugah,
semoga.
Seorang muslim juga mesti berani
untuk berpendapat dan bersikap dalam membela kebenaran dan menentang kezaliman.
Saya terkagum-kagum pada sosok Fahri ketika ia mengikuti forum debat paling
prestasius di Inggris Raya sebagai pakar Islam, di Oxford Debating Union. Debat
itu merupakan debat antaragama. Disini, keyakinan dan agama dipertaruhkan, juga
kredibilitas semua umat muslim. Selain dalam debat ini, Fahri juga pernah
menjadi pembicara dalam sebuah debat antaragama, yaitu antara Islam, Kristen
dan Yahudi. Melalui dialog debat ini kita dapat melihat betapa luas pengetahuan
dan kuatnya argumentasi Kang Abik. Ini bukan semacam sanjungan lho ya, tapi
saya yakin pembaca yang lain juga dapat memahami sekaligus belajar dan
mengambil hikmah. Ada kekuatan retorika sekaligus fakta di dalamnya yang harus
dikuasai seorang muslim agar memiliki dasar pengetahuan dan keyakinan yang kuat
mengapa kita memilih Islam secara kaffah. Ada pengetahuan global yang
berhubungan langsung dengan akidah yang harus kita dalami dan selami.
Sekilas, itulah beberapa kriteria
ideal yang menurut saya melekaat pada sosok seorang Fahri yang dengan rancak
dipadukan Kang Abik. Selain itu, ada hal penting lainnya yang kadang
dikesampingkan oleh sebagian orang, termasuk muslim, tetapi sangat mendukung
kegiatan kita dunia akhirat, bahkan bisa menjadi pondasi dalam berdakwah secara
global. Apa itu? Harta / materi. Dalam novel ini, Fahri juga dikisahkan sebagai
seorang yang kaya raya. Akan tetapi, kekayaan Fahri itu ia dapatkan dengan
usaha dan kerja keras, yaitu mengembangkan modal Aisha melalui usaha /
perniagaan. Ia membangun minimarket, restoran, dan juga butik yang sudah
memiliki cabang dimana-mana. Inilah pesan penting lainnya yang harus kita catat
bahwa seorang muslim hendaknya memiliki prestase dan cukup materi untuk
menghapus kesan bahwa muslim itu kumal, gemar meminta-minta. Memang fakta ini
kebanyakan disebabkan oleh kebanyakan muslim itu sendiri seperti yang sering
terlihat di jalan raya, lampu merah, atau meminta-minta dari pintu ke pintu.
Dalam kisah ini, seorang Fahri berusaha agar image seperti ini dapat dienyahkan
dari setiap muslim. Karenanya, ia selalu berupaya membantu sesama yang
kekurangan, misalnya menolong Sabina, si pengemis buruk rupa bersuara serak
yang sering meminta-minta di masjid. Ia bahkan mempekerjakan Sabina di
rumahnya. Akhlak dan sikap nyata seperti inilah yang harus dimiliki setiap
muslim, terutama mereka yang memiliki kelebihan dalam harta, bukan hanya bisa
menghujat dan retorika belaka. Berniaga juga merupakan salah satu anjuran
Rasulullah SAW karena Beliau berpesan bahwa sembilan dari sepuluh pintu rezeki
itu adalah melalui perniagaan / berdagang. Bahkan kita dianjurkan untuk tetap
berniaga sekalipun telah kaya. Hal ini penting apalagi jika bertujuan bukan
hanya memakmurkan diri dan keluarga, tetapi harta yang dimiliki harus pula
bermanfaat untuk sesama dan agama.
Lalu, dari semua pemelaran itu, apa
yang menjadikan sosok Fahri ini merupakan sebuah barometer kita untuk beramal?
Ikhlas. Ia ikhlas dan hanif, tetap tawadhu’ dan rendah hati, beramal dan
beribadah baik di kala bersama orang lain maupun di saat sendiri karena
semuanya diupayakan untuk meraih ridho Allah.
Wah, sosok Fahri ini benar-benar
membuat terpesona yaa...
Terima kasih Kang Abik yang menulis
novel ini dengan penuh penghayatan sehingga ilmu dan hikmah di dalamnya
benar-benar dapat diindra oleh pembaca seperti saya. Tutur bahasanya mengalir
indah dan lincah, tak ada kesan menggurui. Membawa pembaca pada kesadaran dan
kesan yang mendalam sehingga saya sebagai pembaca seolah-olah dihadapakan pada
sebuah cermin, melihat dan menelisik sejauh mana diri pribadi telah memahami
Islam, sejauh mana diri telah berbuat dan membuahkan manfaat untuk sesama.
Novel yang indah yang mengajarkan cara hidup yang indah dengan tetangga dan
orang-orang sekitar, mengajari landasan dalam bersikap dan bersifat layaknya
seorang muslim yang kehadirannya menerangi kehidupan orang lain dengan
kebaikan, sekalipun kepada mereka yang terang-terangan membenci.
Mengimbangi hal-hal ini, maka Kang
Abik memadukan dakwah dengan kisah cinta dan asmara yang benar-benar romantis
juga menggugah. Bahwa kehidupan seorang Fahri yang demikian takwanya pun tak
lepas dari ujian rumah tangga tatkala kesetian cinta pada sang istri, fitrahnya
sebagai lelaki, dan cintanya pada pesan Sang Rasul menuai ujian. Kisah cinta
yang dipenuhi kerinduan, kasih sayang, yang dilandaskan pada keimanan kepada
Ilahi. Alangkah indah tatkala dua insan memadu kasih di bawah naungan cinta
Sang Khalik, namun juga mampu menjaga cinta itu tatkala cinta dihempaskan pada
ujian yang sedemikian besar dan nyaris melantakkan kesadaran. Menyeruakkan haru
hingga menetes air mata tatkala membacanya. Tapi, bolehkah saya sedikit protes?
Nasib Aisha, oh, mengapa setragis itu? Ujian apakah itu? Penasaran? Yuk baca
novelnya...
Detail-detail tempat yang menjadi
latar dalam cerita ini juga digambarkan Kang Abik dengan begitu apik sehingga
pembaca seolah-olah berada di tempat-tempat tersebut, bahkan dapat membayangkan
melihat dan membayangkan setiap detail dan lika-liku , rupa, dan warna aneka
bangunan dan gedungnya. Gemericik air, merdu suara biola, aneka ragam tokoh dan
manusianya seperti terindra dengan jelas. Saya suka.
Sedikit perbandingan, ijinkan saya
membandingkan novelAyat-Ayat Cinta 2 ini dengan pendahulunya, Ayat-Ayat Cinta
(1). Dari segi ketebalan, sekuelnya ini memiliki ketebalan dan bobot yang lebih
dibandingkan Ayat-Ayat Cinta 1. Buku pertama jumlah halamannya 413, sedangkan
buku kedua ini tebalnya mencapai 698 halaman. Sedangkan dari segi cerita, saya
rasa sekuelnya ini juga lebih unggul. Jika pada Ayat-Ayat Cinta 1 fokus cerita
lebih dominan tentang kisah Fahri, Aisha, dan Maria, maka pada Ayat-Ayat Cinta
2 ini kisah dan konflik yang disajikan lebih beragam, lebih berani. Mengapa
saya katakan lebih berani? Karena pada Ayat-Ayat Cinta 2 ini setengah atau
sebagian besar isinya membahas tentang permasalahan akidah dengan berani
menguak fakta dan sejarah yang ada di balik Islam, Kristen, dan Yahudi. Buku
kedua ini membuka menyampaikan pesan penting akan bahaya laten zionis Israel
yang tak disadari banyak orang bahwa sesungguhnya mereka yang mengganggap orang
dan bangsa lain di luar Israel sebagai kaum amalek,
sedang gencar dan terang-terangan membasmi umat muslim dan siapapun yang
dianggap menghalangi tujuan mereka di dunia ini. Dalam buku ini pula penulis
menyampaikan bagaimana pribadi ideal yang semestinya dimiliki seorang muslim.
Bahwa seorang muslim semestinya membawa pesan tentang Islam yang rahmatan lil ‘alamin melalui pribadi
yang bermanfaat, cerdas, berwawasan global, berani, tapi tetap dengan hati yang
merunduk dalam ikhlas dan tawadhu’.
Maka ijinkan saya bertutur dan
menyimpulkan bahwa novel ini merupakan salah satu sarana penulisnya dalam
menyampaikan dakwah. Cara yang indah dan meninggalkan kesan yang kuat dalam
menyampaikan kebenaran dan risalah dakwah. Tentu kita mengakui bahwa pena dan
kata-kata yang baik memiliki kekuatan untuk menancap ke hati para pembaca,
kan?! Semoga melalui buku ini banyak pembaca yang tercerahkan. Semoga pahala
kian mengalir untuk penulisnya. Barakallah Kang Abik untuk
penghargaan-penghargaan yang telah disematkan kepadamu.
Sosok
seorang Fahri, sosok yang bermanfaat untu umat tanpa mengesampingkan keluarga
dan para karyawannya. Baginya, keluarga adalah jantung dan hatinya dan para
karyawan adalah tangan dan kakinya. Hm hm, buat para gadis atau akhwat yang
masih jomblo, apa sanggup menolak jika ada lelaki / ikhwan seperti Fahri datang
melamar? Buat para istri, tak perlu menuntut suami untuk sesempurna sosok
Fahri, berusaha dan berbuat baik mulai dari diri sendiri yuk. Buat para suami
ataupun lelaki / ikhwan yang masih lajang, tak perlu ciut nyalinya jika Anda
merasa diri Anda jauh dari sosok sang Fahri ini. Usaha maksimal dan kontinyu
dalam memperbaiki diri, terus dan terus mengupgrade
diri dan ibadah, bertakwa, dan meneladani Rasulullah dalam kehidupan
sehari-hari. Ingat ingat, jodoh itu adalah cerminan diri, okay? Oh ya, biar
saya tuliskan petika puisi Fahri dan Aisha, barangkali saja Anda bisa ucapkan
untuk menyenangkan hati suami / istri, hehe. Saya pun suka sekali.
Ini
puisi Aisha (dipetik dari puisi berjudul Kekasih
karya Paul Eluard)
agar dapat melukiskan hasratku, kekasih,
taruh bibirmu seperti bintang di langit kata-katamu,
ciuman dalam malam yang hidup,
dan deras lenganmu memeluk daku
seperti suatu nyala bertanda kemenangan
mimpiku pun berada dalam
benderang dan abadi (hlm. 19)
dan ini balasan puisi Aisha dari sang suami :
alangkah manis bidadariku ini
bukan main elok pesonanya
matanya berbinar-binar
langkah indahnya
bibirnya,
mawar merekah di taman surga (hlm.20)
Mari
mengupgrade diri menjadi pribadi yang
bertakwa. Beribadah seakan-akan kita akan mati besok, berusaha seakan-akan kita
akan hidup seribu tahun lagi. Semoga resensi saya ini bermanfaat untuk semua.
Yuk,
miliki novel Ayat-Ayat Cinta 2 ini. Insya Allah pantas dijadikan rujukan dalam
berbagai permasalahan.
Selamat
membaca...
Selamat
bertamasya di kebun kata, memetik hikmah dan ilmu dari pohon-pohon kebaikan,
menebar manfaat untuk sesama...
Wassalamu’alaikum
Wr.Wb.
I
0 komentar:
Posting Komentar