Kamis, 25 Februari 2016

Resensi Ayat-Ayat Cinta 2


Judul Buku      : Ayat – Ayat Cinta 2
Penulis             : Habiburrahman El Shirazy
Penerbit           : Republika Penerbit
Tahun Terbit    : Desember 2015 ( Cet.V)
Tebal Buku      : vi + 698 hlm
Ukuran Buku  : 13.5x20.5 cm
ISBN               : 978-602-0822-15-0

Mengejar Pribadi Muslim Ideal, Sejauh Manakah Kita?
            Fahri Abdullah, lelaki sholeh asal Indonesia itu kini tinggal di Edinburgh, Skotlandia, dan menjadi staf pengajar (dosen) di University of Edinburgh dalam bidang ilmu Filologi. Ia menjadi salah satu doktor termuda yang dikagumi karena kecerdasannya. Ia tinggal di rumahnya di kawasan Stoneyhill Grove bersama Paman Hulusi yang selalu setia menemaninya sebagai sahabat, supir, dan membantu menyiapkan urusan dapur di rumah Fahri.

            Tinggal di negeri asing sebagai muslim dan minoritas, tak membuat Fahri lemah atau kehilangan percaya diri. Ia senantiasa tampil cemerlang, tegas terhadap hel-hal yang sifatnya batil, namun lembut kepada tetangga dan orang lain. Ia selalu berupaya membantu dan meringankan beban para tetangga yang memerlukan bantuan meski mereka semuanya nonmuslim, termasuk Jason dan Keira yang terang-terangan memusuhi dan menganggapnya teroris. Ia bahkan membantu Sabina, pengemis buruk rupa dan bersuara serak yang kerap meminta-minta di masjid tempat Fahri sering shalat.
            Kebaikan Fahri tak hanya mengundang kekaguman, tapi juga kebencian dari sekelompok ekstrimis Israel pimpinan Baruch yang memiliki pengaruh besar hingga Fahri terancam dipecat dari tempatnya mengajar. Bahkan ia harus bertaruh nyawa ketika Baruch hampir membunuhnya.
            Kehidupan Fahri pun tak lepas dari kisah asmara. Pilunya, Fahri kehilangan Aisha tanpa jejak sejak bertahun-tahun lalu ketika Aisha pergi ke Palestina. Hulya, sepupu Aisha, diam-diam telah jatuh cinta kepada Fahri. Adapula tawaran dari sang guru untuk menikahi keponakannya, juga dari seorang kenalan. Fahri nelangsa, sanggupkah ia menikahi wanita lain jika dalam hatinya hanya ada nama Aisha? Akankah ia mengabaikan sunnah Rasul agar tak berlama-lama dalam keadaan membujang? Bagaimana lika-liku perjalanan Fahri dalam hidup bertetangga dengan orang-orang yang membencinya, juga menghadapi tantangan global dan isu-isi kontemporer yang menyudutkan muslim? Akankah ia mampu menunjukkan diri sebagai muslim ideal dan bermartabat? Siapa sebenarnya Sabina? Yuk cari tau dalam novelnya...
*****
            Mengagumkan. Itulah kesan pertama saya sejak awal membaca sinopsis dan komentar-komentar tentang novel Ayat-Ayat Cinta 2 ini. Buku yang disusun dengan apik, bahasa yang mengalir indah, menggetarkan jiwa saya sebagai pembaca. Sangat pantas disebut sebagai novel pembangun jiwa. maka tak heran jika Kang Abik, penulisnya, dianugerahi dengan berbagai penghargaan dalam bidang kepenulisan dan sastra.
            Ayat-Ayat Cinta 2 ini merupakan sekuel dari Ayat-Ayat Cinta 1 yang terbit tahun 2004 silam dan sempat booming ketika kisah dalam novel tersebut diangkat ke layar lebar. Hayo, siapa yang masih ingat para pemerannya? Yup, sosok Fahri yang diperankan Fedi Nuril, Aisha diperankan Rianty Cartwright dan... sebagai Maria. Benar-benar kisah yang menarik dan menguras air mata. Tak sampai disitu, bahkan para wanita ramai-ramai menggilai sosok Fahri sehingga tercetuslah sebutan The Fahriholic. Hayoo, siapa nih para pembaca yang termasuk dalam barisan The Fahriholic ini ? Siap-siap semakin terpesona kembali setelah membaca sekuelnya ini ya ^_^
            Yup, sosok Fahri memang sosok laki-laki dengan kategori nyaris perfect yang diimpikan banyak wanita, terlebih bagi para wanita yang memahami kriteria lelaki sholeh itu seperti apa. Di dunia ini, tentulah satu-satunya manusia yang paling sempurna dan patut dijadikan idola dan tauladan hanyalah Rasulullah SAW. Beliau sosok laki-laki yang sempurna dalam sifat dan sikap, lembut pada sesama, romantis dan adil dalam memperlakukan istri-istri beliau. Setelah Beliau, tentu ada sosok para sahabat yang tingkah lakunya paling dekat dengan sang Rasul. Namun, mereka semua telah tiada. Di dunia yang modern dan gegap gempita ini, orang-orang sholeh berjuang dengan lebih keras untuk meneladani pribadi sang Rasul.
            Sebaik-baik manusia, tentulah yang paling bertakwa kepada Allah SWT. Alangkah indahnya jika takwa itu terus diupgrade. Apalagi jika takwa disertai dengan usia muda, kaya, serta bila mati semoga bisa masuk surga. Eitss, tapi yang terakhir belum tentu bisa ya. Karenanya, seorang muslim mesti senantiasa bertakwa dengan mematuhi perintah Allah, menjauhi larangan serta berupaya meneladani Rasulullah dalam setiap sendi kehidupannya. Seorang muslim mestinya senantiasa mengejar pribadi ideal sebagai seorang muslim. Nah, apa hubungannya pembahasan ini dengan novel Ayat-Ayat Cinta 2 ini? Ya, karena pribadi muslim ideal ini menurut saya tercermin pada tokoh sentral dalam novel ini, Fahri Abdullah.
            Sudah menjadi tugas seorang muslim untuk menunjukkan keindahan Islam yang bersifat rahmatan lil ‘alamin. Bagaimana? Tunjukkanlah kebermanfaatan sebagai seorang muslim. Muslim yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Sesuai petuah sang Rasul bahwa manusia yang paling baik adalah manusia yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain. Maka, begitulah seorang Fahri digambarkan dalam novel ini. Pribadi muslim yang memberi manfaat untuk orang lain, sekalipun kepada para tetangga yang semuanya nonmuslim, termasuk kepada Jason dan Keira yang sangat membencinya. Apakah Fahri balas dengan membenci mereka? Tidak. Ia tunjukkan kebesaran jiwa, ia tunjukkan bahwa seorang muslim itu bukanlah seperti sangkaan mereka. Ia membantu nenek Chatarina yang seorang Yahudi, Brenda yang sering mabuk-mabukan dan pulang malam, hingga mereka semua sangat merasakan manfaat dan kebaikan hidup bertetangga bersama Fahri. Fahri pun kerap berdonasi untuk rakyat Palestina dan mereka yang membutuhkan uluran tangannya tanpa diminta. Itulah keindahan akhlak dari seorang muslim. Menebar manfaat tanpa mengherap pamrih dari manusia, welas asih dan tetap rendah hati. Seorang muslim yang hanif demi mengejar ridho Rabb nya.
            Kepribadian Fahri selanjutnya yang mencerminkan sikap yang seharusnya dari seorang muslim yaitu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, tak ada yang tersia-siakan. Waktu ibarat pedang bermata dua, jika tak digunakan dengan baik, maka ia akan menebasmu. Setiap langkah kaki ke masjid atau ketika di dalam mobil sekalipun, Fahri tetap melafalkan zikir dengan penuh penghayatan. Shalat sunnah tetap ia dirikan meski di ruang kantor  kampus tempat ia mengajar. Hafalan Quran tetap ia rutinkan. Efisiensi waktu ia terapkan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Jadwal-jadwalnya sangat padat, namun tetap memiliki waktu untuk bermuamalah atau berdiskusi dan bertemu dengan orang lain.
            Seorang Fahri adalah muslim yang cerdas. Selepas menyelesaikan S1 di Al-Azhar, Cairo, menyelesaikan gelar master di Pakistan, dan mengambil gelar doktor di Jerman. Ia terus mengembangkan riset, menulis jurnal yang diterbitkan oleh media internasional, dan menjadi salah satu doktor muda dan pakar ilmu Islam yang disegani karena prestasinya. Bahkan ia disejajarkan dengan para cendekiawan Muslim terkemuka tingkat dunia. Ia cerdas dalam bersikap dan berpendapat. Misalnya, ketika seorang mahasisnya bertanya tentang bom bunuh diri ( paragraf awal di hlm.9 ). Jika Anda, saya, dihadapkan pada pertanyaan mengapa ada muslim yang melakukan bom bunuh diri, atau mengapa muslim itu menjadi teroris, apa jawaban kita? Saya, Anda, mungkin akan gelagapan dan ini akan membuat image muslim tampak buruk. Tapi lihatlah dalam novel ini betapa indah cara Kang Abik sebagai penulis menjawab pertanyaan tersebut melalui sosok Fahri. Dengan analogi yang pas dan telak sehingga dapat dicerna dan diterima orang lain. Jadi, terhadap mereka yang phobia terhadap Islam, yang menganggap Islam adalah agama teroris, cobalah baca novel ini. Maka Anda akan tergugah, semoga.
            Seorang muslim juga mesti berani untuk berpendapat dan bersikap dalam membela kebenaran dan menentang kezaliman. Saya terkagum-kagum pada sosok Fahri ketika ia mengikuti forum debat paling prestasius di Inggris Raya sebagai pakar Islam, di Oxford Debating Union. Debat itu merupakan debat antaragama. Disini, keyakinan dan agama dipertaruhkan, juga kredibilitas semua umat muslim. Selain dalam debat ini, Fahri juga pernah menjadi pembicara dalam sebuah debat antaragama, yaitu antara Islam, Kristen dan Yahudi. Melalui dialog debat ini kita dapat melihat betapa luas pengetahuan dan kuatnya argumentasi Kang Abik. Ini bukan semacam sanjungan lho ya, tapi saya yakin pembaca yang lain juga dapat memahami sekaligus belajar dan mengambil hikmah. Ada kekuatan retorika sekaligus fakta di dalamnya yang harus dikuasai seorang muslim agar memiliki dasar pengetahuan dan keyakinan yang kuat mengapa kita memilih Islam secara kaffah. Ada pengetahuan global yang berhubungan langsung dengan akidah yang harus kita dalami dan selami.
            Sekilas, itulah beberapa kriteria ideal yang menurut saya melekaat pada sosok seorang Fahri yang dengan rancak dipadukan Kang Abik. Selain itu, ada hal penting lainnya yang kadang dikesampingkan oleh sebagian orang, termasuk muslim, tetapi sangat mendukung kegiatan kita dunia akhirat, bahkan bisa menjadi pondasi dalam berdakwah secara global. Apa itu? Harta / materi. Dalam novel ini, Fahri juga dikisahkan sebagai seorang yang kaya raya. Akan tetapi, kekayaan Fahri itu ia dapatkan dengan usaha dan kerja keras, yaitu mengembangkan modal Aisha melalui usaha / perniagaan. Ia membangun minimarket, restoran, dan juga butik yang sudah memiliki cabang dimana-mana. Inilah pesan penting lainnya yang harus kita catat bahwa seorang muslim hendaknya memiliki prestase dan cukup materi untuk menghapus kesan bahwa muslim itu kumal, gemar meminta-minta. Memang fakta ini kebanyakan disebabkan oleh kebanyakan muslim itu sendiri seperti yang sering terlihat di jalan raya, lampu merah, atau meminta-minta dari pintu ke pintu. Dalam kisah ini, seorang Fahri berusaha agar image seperti ini dapat dienyahkan dari setiap muslim. Karenanya, ia selalu berupaya membantu sesama yang kekurangan, misalnya menolong Sabina, si pengemis buruk rupa bersuara serak yang sering meminta-minta di masjid. Ia bahkan mempekerjakan Sabina di rumahnya. Akhlak dan sikap nyata seperti inilah yang harus dimiliki setiap muslim, terutama mereka yang memiliki kelebihan dalam harta, bukan hanya bisa menghujat dan retorika belaka. Berniaga juga merupakan salah satu anjuran Rasulullah SAW karena Beliau berpesan bahwa sembilan dari sepuluh pintu rezeki itu adalah melalui perniagaan / berdagang. Bahkan kita dianjurkan untuk tetap berniaga sekalipun telah kaya. Hal ini penting apalagi jika bertujuan bukan hanya memakmurkan diri dan keluarga, tetapi harta yang dimiliki harus pula bermanfaat untuk sesama dan agama.
            Lalu, dari semua pemelaran itu, apa yang menjadikan sosok Fahri ini merupakan sebuah barometer kita untuk beramal? Ikhlas. Ia ikhlas dan hanif, tetap tawadhu’ dan rendah hati, beramal dan beribadah baik di kala bersama orang lain maupun di saat sendiri karena semuanya diupayakan untuk meraih ridho Allah.
            Wah, sosok Fahri ini benar-benar membuat terpesona yaa...
            Terima kasih Kang Abik yang menulis novel ini dengan penuh penghayatan sehingga ilmu dan hikmah di dalamnya benar-benar dapat diindra oleh pembaca seperti saya. Tutur bahasanya mengalir indah dan lincah, tak ada kesan menggurui. Membawa pembaca pada kesadaran dan kesan yang mendalam sehingga saya sebagai pembaca seolah-olah dihadapakan pada sebuah cermin, melihat dan menelisik sejauh mana diri pribadi telah memahami Islam, sejauh mana diri telah berbuat dan membuahkan manfaat untuk sesama. Novel yang indah yang mengajarkan cara hidup yang indah dengan tetangga dan orang-orang sekitar, mengajari landasan dalam bersikap dan bersifat layaknya seorang muslim yang kehadirannya menerangi kehidupan orang lain dengan kebaikan, sekalipun kepada mereka yang terang-terangan membenci.
            Mengimbangi hal-hal ini, maka Kang Abik memadukan dakwah dengan kisah cinta dan asmara yang benar-benar romantis juga menggugah. Bahwa kehidupan seorang Fahri yang demikian takwanya pun tak lepas dari ujian rumah tangga tatkala kesetian cinta pada sang istri, fitrahnya sebagai lelaki, dan cintanya pada pesan Sang Rasul menuai ujian. Kisah cinta yang dipenuhi kerinduan, kasih sayang, yang dilandaskan pada keimanan kepada Ilahi. Alangkah indah tatkala dua insan memadu kasih di bawah naungan cinta Sang Khalik, namun juga mampu menjaga cinta itu tatkala cinta dihempaskan pada ujian yang sedemikian besar dan nyaris melantakkan kesadaran. Menyeruakkan haru hingga menetes air mata tatkala membacanya. Tapi, bolehkah saya sedikit protes? Nasib Aisha, oh, mengapa setragis itu? Ujian apakah itu? Penasaran? Yuk baca novelnya...
            Detail-detail tempat yang menjadi latar dalam cerita ini juga digambarkan Kang Abik dengan begitu apik sehingga pembaca seolah-olah berada di tempat-tempat tersebut, bahkan dapat membayangkan melihat dan membayangkan setiap detail dan lika-liku , rupa, dan warna aneka bangunan dan gedungnya. Gemericik air, merdu suara biola, aneka ragam tokoh dan manusianya seperti terindra dengan jelas. Saya suka.
            Sedikit perbandingan, ijinkan saya membandingkan novelAyat-Ayat Cinta 2 ini dengan pendahulunya, Ayat-Ayat Cinta (1). Dari segi ketebalan, sekuelnya ini memiliki ketebalan dan bobot yang lebih dibandingkan Ayat-Ayat Cinta 1. Buku pertama jumlah halamannya 413, sedangkan buku kedua ini tebalnya mencapai 698 halaman. Sedangkan dari segi cerita, saya rasa sekuelnya ini juga lebih unggul. Jika pada Ayat-Ayat Cinta 1 fokus cerita lebih dominan tentang kisah Fahri, Aisha, dan Maria, maka pada Ayat-Ayat Cinta 2 ini kisah dan konflik yang disajikan lebih beragam, lebih berani. Mengapa saya katakan lebih berani? Karena pada Ayat-Ayat Cinta 2 ini setengah atau sebagian besar isinya membahas tentang permasalahan akidah dengan berani menguak fakta dan sejarah yang ada di balik Islam, Kristen, dan Yahudi. Buku kedua ini membuka menyampaikan pesan penting akan bahaya laten zionis Israel yang tak disadari banyak orang bahwa sesungguhnya mereka yang mengganggap orang dan bangsa lain di luar Israel sebagai kaum amalek, sedang gencar dan terang-terangan membasmi umat muslim dan siapapun yang dianggap menghalangi tujuan mereka di dunia ini. Dalam buku ini pula penulis menyampaikan bagaimana pribadi ideal yang semestinya dimiliki seorang muslim. Bahwa seorang muslim semestinya membawa pesan tentang Islam yang rahmatan lil ‘alamin melalui pribadi yang bermanfaat, cerdas, berwawasan global, berani, tapi tetap dengan hati yang merunduk dalam ikhlas dan tawadhu’.
            Maka ijinkan saya bertutur dan menyimpulkan bahwa novel ini merupakan salah satu sarana penulisnya dalam menyampaikan dakwah. Cara yang indah dan meninggalkan kesan yang kuat dalam menyampaikan kebenaran dan risalah dakwah. Tentu kita mengakui bahwa pena dan kata-kata yang baik memiliki kekuatan untuk menancap ke hati para pembaca, kan?! Semoga melalui buku ini banyak pembaca yang tercerahkan. Semoga pahala kian mengalir untuk penulisnya. Barakallah Kang Abik untuk penghargaan-penghargaan yang telah disematkan kepadamu.
Sosok seorang Fahri, sosok yang bermanfaat untu umat tanpa mengesampingkan keluarga dan para karyawannya. Baginya, keluarga adalah jantung dan hatinya dan para karyawan adalah tangan dan kakinya. Hm hm, buat para gadis atau akhwat yang masih jomblo, apa sanggup menolak jika ada lelaki / ikhwan seperti Fahri datang melamar? Buat para istri, tak perlu menuntut suami untuk sesempurna sosok Fahri, berusaha dan berbuat baik mulai dari diri sendiri yuk. Buat para suami ataupun lelaki / ikhwan yang masih lajang, tak perlu ciut nyalinya jika Anda merasa diri Anda jauh dari sosok sang Fahri ini. Usaha maksimal dan kontinyu dalam memperbaiki diri, terus dan terus mengupgrade diri dan ibadah, bertakwa, dan meneladani Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Ingat ingat, jodoh itu adalah cerminan diri, okay? Oh ya, biar saya tuliskan petika puisi Fahri dan Aisha, barangkali saja Anda bisa ucapkan untuk menyenangkan hati suami / istri, hehe. Saya pun suka sekali.
Ini puisi Aisha (dipetik dari puisi berjudul Kekasih karya Paul Eluard)
agar dapat melukiskan hasratku, kekasih,
taruh bibirmu seperti bintang di langit kata-katamu,
ciuman dalam malam yang hidup,
dan deras lenganmu memeluk daku
seperti suatu nyala bertanda kemenangan
mimpiku pun berada dalam
benderang dan abadi (hlm. 19)

dan ini balasan puisi Aisha dari sang suami :

alangkah manis bidadariku ini
bukan main elok pesonanya
matanya berbinar-binar
langkah indahnya
bibirnya,
mawar merekah di taman surga (hlm.20)

Mari mengupgrade diri menjadi pribadi yang bertakwa. Beribadah seakan-akan kita akan mati besok, berusaha seakan-akan kita akan hidup seribu tahun lagi. Semoga resensi saya ini bermanfaat untuk semua.
Yuk, miliki novel Ayat-Ayat Cinta 2 ini. Insya Allah pantas dijadikan rujukan dalam berbagai permasalahan.
Selamat membaca...
Selamat bertamasya di kebun kata, memetik hikmah dan ilmu dari pohon-pohon kebaikan, menebar manfaat untuk sesama...
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
           
I

0 komentar:

Posting Komentar