Selasa, 01 April 2014

Catatan Kematian #Part1




Catatan Kematian ...
            Belum genap sepekan sejak aku mendengar kabar bahwa salah seorang teman kelasku di bangku kuliah meninggal dunia dengan tiba-tiba. Dia, mahasiswi yang lincah, ceria, cerdas, dan juga ramah. Siapa sangka, perjalanan waktunya di dunia begitu singkat. Meninggalkan pesan bagi setiap yang ditinggalkan, bahwa ajal dan kematian merupakan suratan takdir yang tak seorang pun mampu menebak dan menghalangi kedatangan sang maut. 
         Aku termangu, menunduk sembari memeluk kedua lutut. Bayangan kematian orang-orang tercinta sejenak terpapar di depan mata. Saat-saat berduka, bertemankan air mata dan kehilangan. Tak mudah memang mencungkil kenangan yang telah menjadi bagian denyut kehidupan sehari-hari, tak pernah mudah.
            Teringat aku pada tutur seorang teman, tentang sepenggal episode buram yang pernah dilakoninya di suatu sorenya yang kelam. Entah karena putus asa karena hubungan yang dirasanya hambar akan cinta dan kasih sayang, pikiran buruk pun melintas di benaknya yang memang sedang mumet dan ruwet. Maka dengan jemari gemetar diraihnya kain selendang yang biasanya ia pakai untuk selimut tidur. Masih menggenggam selendang, matanya menelisik hamparan langit-langit kamar tidurnya, berharap menemukan celah untuk mengikatkan selendang. Tapi ia tak menemukan celah itu, maka dilepasnya sang selendang dengan lunglai. Tak berhenti, nanar diraihnya kabel cas handphone di sampingnya. Tanpa ekspresi, pelan tetapi pasti, dililit-lilitnya leher dengan kabel tersebut. Merebahkan diri, memejamkan mata, dan kedua tangannya mulai menarik kabel dengan arah yang berlawanan. Sesak mulai dirasanya, bersama air mata dan pikiran berkecamuk memenuhi ruang pikirannya.
            Sang iblis pun kembali berbisik, menghembuskan nafas-nafas keputusasaan dan membentangkan gambaran-gambaran sedih kehidupannya yang abu-abu. Sebaliknya, sang malaikat penjaga tak mau kalah, menghembuskan aroma kehidupan yang layak untuk dijalani. Menggemakan janji-janji kehidupan yang penuh pelangi. Beruntung, sang malaikat akhirnya memenangkan hati manusia yang rapuh itu. Tak terbayangkan jika pemenangnya adalah iblis, maka hilanglah kesempatan kehidupan itu. Ahh,,, apakah aura putus asa dan kematian begitu menggoda??? Entahlah, yang pasti, bukan hak manusia untuk mendahului takdir-Nya.
            Kembali pada diriku,,,
         Aku pun merasa kadang maut begitu dekat, bersiap merenggut jiwaku yang sesungguhnya masih sangat rapuh. Menggigil, teringat timbangan dosa yang akan menggerus seluruh timbangan amal yang mungkin jauh dari seimbang apalagi melebihi catatan hitamku. Terkenang masa-masa indah kala kanak-kanak, masa-masa remaja yang penuh warna, tersentak pada kewajiban-kewajiban yang telah kian banyak terlalaikan. Beringsut, mendekap diri dengan mata gerimis... Mengelus gundukan sang janin yang masih begitu muda... Berbisik, “Nak,,, ibumu ini bukan manusia suci tanpa dosa. Ibumu seumpama lembaran kertas yang didominasi catatan tinta hitam dan abu-abu... Tapi ibu bahagia memiliki engkau Nak,,, anugerah yang membuat ibu bertekad menjalani hidup dengan lebih baik. Demi janji kehidupan kita berdua ...”

           

           

0 komentar:

Posting Komentar