Judul Buku : Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman
Penulis : Afifah Afra
Penerbit : Penerbit Indiva
Tahun Terbit : Januari 2014
ISBN :978-602-1614-11-2
Tebal Buku : 364 hlm
Tebal Buku : 364 hlm
Ukuran : 19 cm
Harga : Rp55.000,-
Mengenang Tragedi Mei 1998
dan Lintas Peristiwa Sejarah di Indonesia
“Dia
korban pemerkosaan,” bisikan seorang lelaki berjas putih itu menyakiti hatiku.
Korban
pemerkosaan. Aku mengerang. Meradang. Seakan ingin memapas sosok-sosok beringas
yang semalam menghempaskan aku kepada jurang kenistaan.
“Kasihan
dia,” ujar lelaki itu lagi, samar-samar kutangkap, meski gumpalan salju itu
menghalangi seluruh organ tubuhku untuk bekerja normal seperti sediakala.
Kenapa?”tanya
seorang wanita, juga berpakaian serba putih.
“Rumahnya
dibakar. Tokonya dijarah. Ayahnya stres, masuk rumah sakit jiwa. Dan ibunya
bunuh diri, tak kuat menahan kesedihan.”
“Aku
tak mengerti, kenapa para manusia menjadi seganas itu. mereka telah kehilangan
separuh jiwanya.” (dialog hlm.62)
Kerusuhan massal yang terjadi di ibukota
negara dan sekitarnya pada 12-22 Mei 1998 merupakan tragedi bangsa paling
memilukan dalam rangkaian peristiwa yang pernah terjadi di tanah air. Tragedi tersebut terjadi
menyusul demo dan tertembaknya empat mahasiswa Trisakti, diakhiri dengan
lengsernya Presiden Soeharto yang sekaligus mengahiri era Orde Baru yang telah
lama berkuasa. Dalam dialog Tragedi Kemanusiaan Mei 1998 dengan topik dari
Keterasingan Menjadi Karib di Union City, San Francisco Bay Area pada tanggal
16 May 2010 meyatakan bahwa tragedi itu memakan 1.339 jiwa warga Indonesia,
termasuk hampir seratus perempuan Indonesia etnis Tionghoa yang mengalami
kekerasan seksual dan diperkosa, lebih dari 5.723 bangunan, 1948 kendaraan dan
516 fasilitas umum dibakar di beberapa kota besar di Indonesia. Sedangkan
berdasarkan hasil investigasi AsiaWeek, dinyatakan bahwa setidaknya 1.188 orang tewas, sekitar 468
wanita diperkosa, 40 mal dan 2.470 toko ludes dimakan api, serta tidak kurang
dari 1.119 mobil dibakar atau dirusak. Penjarahan,
pemusnahan, pemberangusan dan pemerkosaan terutama ditujukan kepada para warga
beretnis Tionghoa yang bermukim di ibukota dan sekitarnya.
Sayangnya, hingga kini tidak diketahui
pasti siapa dalang di balik kerusuhan yang semestinya bertanggungjawab atas
tragedi yang mengoyak citra bangsa tersebut. Peristiwa yang disinyalir
didalangi oleh tokoh-tokoh besar dalam jajaran pemerintahan kala itu guna
menimbulkan konflik bangsa untuk merebut kekuasaan. Peristiwa itu boleh saja
telah berlalu bertahun-tahun lamanya, namun bagaimanapun akan selalu menyisakan
luka dan duka mendalam di hati para korban, terutama bagi para wanita yang
menjadi korban kekerasan seksual dalam peristiwa tersebut.
Berdasarkan fakta tersebut, penulis
menuangkan kisah yang mengharukan dalam sebuah novel fiksi, mengusung tema
kehidupan seorang gadis belia sekaligus mahasiswi cerdas di salah satu
universitas terkemuka di Jakarta, seorang gadis keturunan Tionghoa, yang turut
menjadi korban keganasan para pelaku kerusuhan. Suryani Cempaka Ongkokusuma
atau yang bernama asli Ong Mei Hwa harus menjalani kehidupan yang berbeda pasca
kerusuhan tersebut bahkan kehilangan separuh kewarasannya. Ayahnya mesti
dirawat di rumah sakit jiwa, mamanya tewas bunuh diri, dan kedua kakak
laki-lakinya hilang entah kemana.
Dalam keterpurukan dan kesuraman
hidup, takdir mempertemukan Mei Hwa dengan Sekar Ayu, sang perempuan pelintas
zaman, manusia separuh kayu, yang telah merasakan asam garam kehidupan bersama
silih bergantinya penguasa negeri, mulai dari Hindia Belanda, Jepang, hingga
peristiwa G30S PKI. Berbagai persamaan latar belakang dan kisah hidup membuat
Mei Hwa dan Sekar Ayu menjadi dua sahabat akrab lintas usia. Keduanya menjalani
persahabatan yang mengajarkan arti ketulusan, pengorbanan, dan juga cinta.
*****
Sebuah novel yang sangat menarik,
disajikan dengan diksi yang indah dan sarat konflik, sekaligus menjadi
pengingat bahwa di Indonesia pernah terjadi sebuah peristiwa besar yang menjadi
tragedi paling memilukan dalam sejarah tanah air, juga dalam sejarah dunia.
Sebuah tragedi yang mengoyak kehormatan bangsa.
Penulis novel ini, Afifah Afra, merupakan seorang
penulis yang telah melahirkan sekian banyak novel bersetting ideologis dan
sejarah. Begitu pula dengan novel ini, sangat sarat dengan informasi akan
berbagai peristiwa yang menjadi bagian penting dari sejarah tanah air.
Tema yang diusung dalam novel ini
menjadi nilai plus tersendiri di tengah-tengah maraknya novel yang melulu menyajikan kisah cinta. Dengan
diksi dan tutur yang memikat khas Afifah Afra, dengan sendirinya novel ini
mampu menyedot perhatian pembaca untuk merunut lembar demi lembar kisah yang
disajikan. Sudut pandang yang digunakan dalam cerita pun unik karena
menghadirkan dua tokoh perempuan berbeda generasi namun memiliki begitu banyak
kesamaan luka serta keterkaitan dalam perjalanan kehidupan yang telah dilalui.
Tokoh Mei Hwa bercerita menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu “aku,”
sedangkan tokoh Sekar Ayu diceritakan menggunakan sudut pandang orang ketiga,
yaitu “dia.” Masing-masing bercerita tentang peristiwa penting yang menjadi
setting cerita kemudian dipertemukan dalam masa kini di tengah-tengah kesulitan
dan kemuraman hidup yang justru membawa pada sebuah persahabatan yang unik.
Sayangnya, penulis tidak terlalu
mengeksplor tentang peristiwa Mei 1998. Seandainya penulis menyajikan tragedi
tersebut dengan lebih detail, saya yakin ceritanya akan menjadi lebih “greget”
dan tajam. Apalagi peristiwa Mei 1998 merupakan peristiwa atau tragedi yang
amat keji dan biadab, memilukan sekaligus memalukan dalam sejarah bangsa
sehingga melalui novel ini pembaca bisa diingatkan, disadarkan, atau juga
menyadari bahwa peristiwa tersebut memang benar-benar pernah terjadi dalam
sebuah gambaran utuh yang jauh lebih tragis. Mungkin Mbak Afifah memang ingin
lebih memfokuskan cerita pada Mei Hwa pasca peristiwa tersebut.
Peristiwa Mei 1998 yang diangkat
dalam novel ini juga pernah diangkat dalam sebuah novel atau cerita fiksi Sekuntum Nozomi 3-nya Marga T. Dalam
novel tersebut, Marga T. membahas lebih rinci gambaran peristiwa keji ini.
Membangkitkan kegeraman tersendiri bahwa peristiwa keji itu benar-benar terjadi
dan dirasakan sangat tidak adil terutama bagi mereka yang beretnis Tionghoa
meski telah lama menetap di Indonesia.
Novel Mei Hwa dan Sang Pelintas
Zaman ini memiliki kesamaan dengan novel-novel ideologis karya Afifah Afra yang
sebelumnya. Persamaannya antara lain terletak pada peristiwa sejarah yang
menjadi bagian dari setting dan alur cerita, misalnya pada Tetralogi De Winst (telah
terbit 3 buku), juga Trilogi Bulan Mati di Javasche Orange. Namun, tentu saja
cerita dan pesan yang disampaikan berbeda dengan novel-novel tersebut.
Mengingat bagusnya muatan nilai yang
disampaiakn dalam novel ini, juga karena beragam nila plus yang dimiliki, juga
dengan nama penulisnya, maka novel ini menjadi sebuah novel yang sangat layak
untuk dimiliki guna menambah khasanah pengetahuan. Semoga pembaca dapat memetik
hikmah dan nilainya. Juga berharap semoga tragedi Mei 1998 tidak akan pernah
terulang lagi dalam sejarah bangsa.
Sekian resensi
saya. Selamat membaca ^_^
2 komentar:
Terimakasih, Eyi... coba lebih dirapikan lagi, diedit bahasanya, timbangannya lebih kritis lagi lalu dikirimkan ke koran. Bagus kok, resensinya...
Menarik juga ya, menulis yg benar2 fokus di tragedi Mei 98. InsyaAllah buat next novel deh...
Oke Mbak, syukron ^_^
Posting Komentar