Catatan Kematian ...
Belum genap sepekan sejak aku
mendengar kabar bahwa salah seorang teman kelasku di bangku kuliah meninggal
dunia dengan tiba-tiba. Dia, mahasiswi yang lincah, ceria, cerdas, dan juga
ramah. Siapa sangka, perjalanan waktunya di dunia begitu singkat. Meninggalkan pesan
bagi setiap yang ditinggalkan, bahwa ajal dan kematian merupakan suratan takdir
yang tak seorang pun mampu menebak dan menghalangi kedatangan sang maut.
Aku termangu, menunduk sembari memeluk kedua lutut. Bayangan kematian orang-orang tercinta sejenak terpapar di depan mata. Saat-saat berduka, bertemankan air mata dan kehilangan. Tak mudah memang mencungkil kenangan yang telah menjadi bagian denyut kehidupan sehari-hari, tak pernah mudah.
Aku termangu, menunduk sembari memeluk kedua lutut. Bayangan kematian orang-orang tercinta sejenak terpapar di depan mata. Saat-saat berduka, bertemankan air mata dan kehilangan. Tak mudah memang mencungkil kenangan yang telah menjadi bagian denyut kehidupan sehari-hari, tak pernah mudah.
Teringat aku pada tutur seorang teman, tentang sepenggal episode
buram yang pernah dilakoninya di suatu sorenya yang kelam. Entah karena
putus asa karena hubungan yang dirasanya hambar akan cinta dan kasih sayang,
pikiran buruk pun melintas di benaknya yang memang sedang mumet dan ruwet. Maka
dengan jemari gemetar diraihnya kain selendang yang biasanya ia pakai untuk
selimut tidur. Masih menggenggam selendang, matanya menelisik hamparan
langit-langit kamar tidurnya, berharap menemukan celah untuk mengikatkan
selendang. Tapi ia tak menemukan celah itu, maka dilepasnya sang selendang
dengan lunglai. Tak berhenti, nanar diraihnya kabel cas handphone di
sampingnya. Tanpa ekspresi, pelan tetapi pasti, dililit-lilitnya leher dengan
kabel tersebut. Merebahkan diri, memejamkan mata, dan kedua tangannya mulai
menarik kabel dengan arah yang berlawanan. Sesak mulai dirasanya, bersama air
mata dan pikiran berkecamuk memenuhi ruang pikirannya.
Sang iblis pun kembali berbisik,
menghembuskan nafas-nafas keputusasaan dan membentangkan gambaran-gambaran
sedih kehidupannya yang abu-abu. Sebaliknya, sang malaikat penjaga tak mau
kalah, menghembuskan aroma kehidupan yang layak untuk dijalani. Menggemakan
janji-janji kehidupan yang penuh pelangi. Beruntung, sang malaikat akhirnya
memenangkan hati manusia yang rapuh itu. Tak terbayangkan jika pemenangnya
adalah iblis, maka hilanglah kesempatan kehidupan itu. Ahh,,, apakah aura putus
asa dan kematian begitu menggoda??? Entahlah, yang pasti, bukan hak manusia
untuk mendahului takdir-Nya.
Kembali pada diriku,,,
Aku pun merasa kadang maut begitu
dekat, bersiap merenggut jiwaku yang sesungguhnya masih sangat rapuh. Menggigil,
teringat timbangan dosa yang akan menggerus seluruh timbangan amal yang mungkin
jauh dari seimbang apalagi melebihi catatan hitamku. Terkenang masa-masa indah
kala kanak-kanak, masa-masa remaja yang penuh warna, tersentak pada
kewajiban-kewajiban yang telah kian banyak terlalaikan. Beringsut, mendekap
diri dengan mata gerimis... Mengelus gundukan sang janin yang masih begitu
muda... Berbisik, “Nak,,, ibumu ini bukan
manusia suci tanpa dosa. Ibumu seumpama lembaran kertas yang didominasi catatan
tinta hitam dan abu-abu... Tapi ibu bahagia memiliki engkau Nak,,, anugerah
yang membuat ibu bertekad menjalani hidup dengan lebih baik. Demi janji
kehidupan kita berdua ...”
0 komentar:
Posting Komentar